Sabtu, 12 Mei 2012

Al-Mawardi, Seorang Pemikir Muslim dan Peletak Dasar Politik Islam yang Termasyhur di Zaman Kekhalifahan

Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Ilmuwan legendaris di abad ke-10 M itu diakui dunia sebagai salah seorang peletak dasar keilmuan politik Islam. Gagasan dan pemikirannya tentang ilmu politik yang dituangkan dalam bukunya yang amat fenomenal berjudul Al-Ahkam al- Sultania wa al-Wilayat ad-Diniyya, hingga kini masih tetap diperbincangkan.

Selain menguasai ilmu politik, intelektual Muslim bernama Al-Mawardi ini juga dikenal sebagai ahli hukum, pakar ilmu hadis, serta sosiolog Muslim terkemuka. Ia sempat mengabdikan dirinya menjadi ahli hukum di sekolah fikih. Dalam bidang ini, sang pemikir Muslim itu melahirkan dasar-dasar yurisprudensi yang reputasinya begitu monumental bertajuk, Al-Hawi, yang terdiri atas 8.000 halaman.


Kemampuannya dalam bidang hukum yang begitu mumpuni membuat Al-Mawardi berkali-kali diangkat sebagai hakim (qadhi) di berbagai provinsi. Kelihaiannya dalam melakukan lobi-lobi politik juga membuat khalifah mendaulatnya sebagai duta keliling pemerintahan Abbasiyah.

Ketika situasi politik kenegaraan bergolak, Al-Mawardi pun tampil sebagai tokoh pemersatu. Sebagai seorang pemikir yang independen, ia terus menyuarakan mediasi antara dua kekuatan yang bertikai pada zamannya, yakni pemerintahan Abbasiyah dan militer Syiah Buyid.

Ia tak memihak pada satu kubu, melainkan tampil sebagai tokoh yang netral. Tak salah, jika seorang orientalis menyebut ulama penganut mazhab Syafi’i bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi ini sebagai Khatib Baghdad.

Sejatinya, Al-Mawardi adalah putra dari seorang saudagar minyak mawar. Ia terlahir di pusat kota peradaban Islam klasik, Basrah, pada 386 H/975 M. Al-Mawardi kecil menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya. Ilmu hukum telah membetot perhatiannya sejak masih remaja. Ia lalu berguru kepada seorang pakar hukum mazhab Syafi’i terkemuka bernama, Abul Qasim Abdul Wahid As-Saimari.

Setelah menguasai ilmu hukum Islam (fikih), Al-Mawardi akhirnya memutuskan hijrah ke Baghdad untuk menimba ilmu lainnya. Ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syekh Abdul Hamid Al-Isfraini dan Abdullah Al-Bafi. Berkat otaknya yang encer, dalam waktu singkat ia pun telah menguasai beragam ilmu, seperti hadits, fikih, politik, filsafat, etika, dan sastra.

Kemampuannya dalam mengusai beragam ilmu itu mengantarkannya pada sebuah perjalanan karier yang cemerlang. Menjadi hakim merupakan jabatan pertama yang ditawarkan khalifah kepadanya. Keberhasilannya sebagai hakim di berbagai daerah kekuasaan Abbasiyah mengantarkannya pada jabatan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, Al-Mawardi mencapai puncak karier dalam bidang kehakiman saat diangkat sebagai hakim ketua di Baghdad.

Prestasinya yang begitu cemerlang membuat Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim bin Amrullah, memercayainya sebagai duta besar keliling kekhalifahan. Ia bertugas dari satu negara ke negera lainnya sebagai pimpinan misi khusus Pemerintah Abbasiyah. Ia memainkan peranan yang penting untuk tetap menjaga hubungan diplomatik antara Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai meredup dengan Dinasti Buwaih dan Seljuk yang mulai menguat.

Keandalannya dalam berdiplomasi membuat pemerintahan Islam lain yang sedang menguat menaruh hormat pada sang duta besar. Tak heran, jika berkunjung ke sebuah negara, Al-Mawardi selalu mendapatkan hadiah dan cendera mata dari para sultan pada zaman itu. Ia pun menjadi saksi ketika Baghdad pusat pemerintahan Abbasiyah diambil alih Dinasti Buwaih.

Kontribusinya bagi peradaban Islam dalam bidang ilmu politik dan sosiologi sungguh amat tak ternilai. Al-Mawardi telah melahirkan sebuah buku terbesar dalam khazanah peradaaban Islam, yakni Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah. Selain itu, ia juga menulis buku termasyhur lainnya berjudul Qanun al-Wazarah, serta Kitab Nasihat al-Mulk. Buku-buku yang ditulisnya itu membahas tentang dasar-dasar ilmu politik. Secara detail dan lugas, dalam buku politiknya Al-Mawardi mengupas tentang fungsi dan tugas khalifah, perdana menteri, menteri-menteri, hubungan antara berbagai elemen publik dengan pemerintah, serta langkah-langkah untuk menguatkan pemerintahan dan memastikan kemenangan dalam peperangan.

Dua bukunya yang berjudul, Al-Ahkam As-Sultaniah serta Qanun Al-Wazarah, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Itulah yang membuat Al-Mawardi termasyhur di seantero dunia hingga abad ini. Ia juga diyakini sebagai seorang penulis Doctrine of Necessity dalam ilmu politik. Al-Mawardi telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas tentang pemilihan khalifah dan kualitas pemilihnya.

Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah diyakini para sejarawan ditulis Al-Mawardi atas permintaan dari salah seorang Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Hal itu tercantum dalam prakata buku yang legendaris itu. Bukunya yang fenomenal itu telah diakui sebagai karya klasik dalam bidang politik. Tak hanya diperbincangkan di kalangan intelektual Arab, Al-Ahkam As-Sultaniah pun menjadi kajian para orientalis.

Tak heran, kalau pemikiran Al-Mawardi kerap dikutip dalam berbagai buku diskursus tentang hukum Islam dan pemerintahan. Tak melulu membahas kekuasaan, buku ini juga telah memperkenalkan batas-batas negara, reklamasi tanah, suplai air, pajak, serta hal-hal lain yang begitu detail tentang tugas dan hubungan negara dengan rakyatnya.

Dalam bidang etika, Al-Mawardi menulis kitab berjudul Adab Ad-Dunya wa Ad-Din. Kitab ini sangat populer dan tema-tema yang dibahas di dalamnya masih menjadi bahan kajian di beberapa negara Islam.

Sebagai salah seorang pemikir ilmu politik terkemuka di abad pertengahan, pemikiran-pemikirannya telah memberi pengaruh yang begitu besar bagi pengembangan ilmu politik serta sosiologi. Pemikirannya tentang sosiologi pada zaman berikutnya dilanjutkan oleh Ibnu Khaldun. Pengaruh pemikiran Al-Mawardi terhadap Bapak Sosiologi dunia itu terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun.

Salah satu ciri khas Al-Mawardi adalah selalu memberikan pandangan dalam sudut pandang yang berbeda. Inilah ciri khas pemikir yang independen, netral, dan tak memihak pada satu kelompok atau golongan. Pakar politik seperti ini sangat sulit ditemukan pada zaman modern. Al-Mawardi tutup usia pada 1058 M. Meski begitu, namanya tetap abadi dan akan dikenang sepanjang masa.

Kitab Al-Ahkam As-Sultaniah (Hukum-Hukum Kekuasaan) begitu fenomenal. Buah pikir Al-Mawardi tentang ilmu politik itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Kitab yang monumental itu merupakan adikarya sang pakar politik. Dalam kitab itulah, pemikiran dan gagasan Al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas. Tak hanya berlaku pada masanya, prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan yang dicetuskannya hingga kini masih tetap menjadi wacana yang menarik diperbincangkan bahkan diperdebatkan.

Buku dasar-dasar ilmu politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana.

Kitab Al-Ahkam AS-Sultaniah juga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa’i, ghanimah (rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, dan masalah dokumen negara dengan begitu lengkap dan detail.

Imam, baik itu raja, presiden, atau sultan menurut Al-Mawardi, adalah sebuah keniscayaan. keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Tanpa kehadiran seorang imam, ungkap dia, sebuah masyarakat atau negara akan kacau. Tanpa kehadiran pemimpin, manusia menjadi tidak bermartabat. Sebuah bangsa pun menjadi tak lagi berharga.

Inilah ketentuan seorang imamah yang legal dalam pandangan Al-Mawardi. Menurutnya, jabatan imamah menjadi sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai atau juga disebut model Al-Ikhtiar.

Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khathab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.

Seorang khalifah, papar dia, bisa dilengserkan dan harus mundur bila mengalami dua cacat. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan syahwat atau akibat syubhat). Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat panca indera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).

Selain itu, juga cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.

Lalu bagaimana konsep jihad menurut Al-Mawardi? Selain terdapat perintah jihad kepada orang kafir, masih ada tiga jenis jihad lainnya, yakni jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan.

0 komentar: