Kamis, 22 September 2016

Karekteristik Aqidah Islam

Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini:
Pertama, Al Wudhuh wa al Basathah (jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep trinitas dan sebagainya. Kedua, Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah SWT :“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” (QS. Ar Ruum:30). Ketiga, Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah SWT:”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“(QS. Asy Syuura:21), Keempat, dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan sebagimana dissebut dalam Al-Qur’an: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS Al Baqarah: 111). Kelima, Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka”(QS. Az Zukhruf:22).
Aqidah Islam Sebagai Aqidah Yang Rasional
Setidaknya ada dua konsep yang dimaksud dengan Islam sebagai agama yang rasional. Pertama, konsep yang biasa beredar di masyarakat. Menurut pengertian ini, yang dimaksud Islam agama rasional adalah Islam memiliki pembenaran rasional atas aturan-aturannya bahkan aqidahnya. Kedua, Islam merupakan agama yang rasional karena dasar-dasarnya dibangun atas hujjah-hujjah yang dapat dibuktikan secara rasional.

Konsep pertama
Secara sederhana, yang dimaksud pembenaran “rasional” adalah ada manfaatnya. Aturan yang ada dalam Islam pasti mengandung manfaat. Dengan konsep ini, ramailah orang mencari-cari apa manfaat dari suatu perintah atau larangan Allah. Fenomena dari pendapat ini bisa kita lihat dari ramainya buku tentang manfaat shalat, wudhu, shaum ditinjau dari berbagai segi seperti kesehatan atau psikologis.
Orang yang memegang konsep pertama ini berpendapat bahwa pada masa lalu ilmu pengetahuan belum berkembang sehingga orang-orang tidak perlu dijelaskan manfaat-manfaatnya. Sedangkan dizaman sekarang orang-orang tidak akan menerima Islam bila tidak dijelaskan manfaat-manfaatnya, khususnya secara ilmiah.
Islam tidak melarang untuk mencari tahu apa manfaat suatu aturan. Islam juga tidak melarang mencari korelasi antara suatu aturan dengan penyelesaian suatu permasalahan.Dalam bahasa ushul fiqih, kedua hal ini disebut sebagai hikmah.Bila disikapi sebagai hikmah tentu menambah keimanan kita kepada Allah SWT. Hanya saja kedua hal itu bukan alasan adanya aturan itu. Bahkan kita tidak akan pernah tahu alasan Allah SWT memerintahkan suatu hal kecuali Allah memberitahukan alasannya kepada kita.
Jika tidak disikapi seperti di atas cara seperti ini bisa jadi masalah karena tidak semuanya bisa kita cari-cari manfaatnya. Lebih dari manfaat yang dikemukakan seringkali subjektif dan kondisional. Sebagai contoh masa iddah perempuan. Islam menetapkan masa iddah perempuan salah satunya adalah tiga bulan sepuluh hari. Hikmah iddah ini adalah untuk membedakan ayah kandung bayi yang lahir sembilan bulan setelah pernikahan baru. Bila hikmah tersebut adalah alasan, tentu kehadiran teknologi bisa mengurangi waktu iddah tersebut. Waktu iddah hanya tinggal butuh waktu lima menit. Kekhawatiran ini terbukti yakni sudah ada upaya rasionalisasi terhadap aqidah dan syariah yang tidak diterima pembenaran rasional-nya.Keyakinan dan aturan yang tidak ada manfaatnya dan tidak sesuai dengan modernitas, baik bertentangan dengan HAM dan Demokrasi, harus dibuang.
Aqidah Islam berisifat universal
Pendekatan rasional adalah salah satu pendekatan yang universal.Tentu saja karena fitrahnya setiap manusia memiliki akal untuk berpikir. Meski seseorang awalnya menerima Islam dengan jalur lain, suatu saat ia akan menanyakan secara rasional, mengapa saya shalat misalnya.
Rasional menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya “menurut pikiran dan pertimbangan dengan alasan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal; sesuai dengan akal sehat”. Atau sederhananya rasional itu “logis” atau “masuk akal”.
Adapun manfaat dari buah fikiran adalah untuk mengetahui Allah, nama, serta sifat-sifat-Nya yang Sempurna dan Agung. Dengannya orang-orang mukmin beriman kepada kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, pertemuan dengan-Nya, dan para Malaikat-Nya. Dengan buah fikiran, dapat diketahui ayat-ayat Rububiyah-Nya, dalil-dalil Wahdaniah-Nya, serta mukjizat para rasul-Nya.
Dengan buah fikiran pula, perintah-perintah Allah dapat dilaksanakan dan larangan-larangan-Nya bisa ditinggalkan. Umar bin Khaththab r.a berkata, “Orang yang berakal itu bukanlah yang bisa membedakan antara yang baik dari yang buruk, akan tetapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari dua keburukan.”
Aqidah Islam Merupakan Aqidah yang terbuka
Hujjah yang rasional baik otentisitas dan otoritas sumber agama dapat dibuktikan validitasnya. Sumber agama yang dimaksud yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Membuktikan otentisitas maksudnya membuktikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sekarang masih sama dengan saat masa turun dan keluarnya. Sedangkan membuktikan otoritasnya maksudnya kita harus bisa membuktikan bahwa keduanya adalah wahyu Allah. Sikap membuktikan otentisitas dan otoritas sumber adalah sikap yang rasional.
Ketika kedua sumber tersebut sah otentisitas dan otoritasnya, maka sikap menerima apapun isi kedua sumber agama tersebut bisa disebut sikap yang rasional pula. Lebih dari itu mempertanyakan manfaat isi dari kedua sumber itu dengan maksud ingin menghapusnya justru merupakan sikap yang tidak rasional. Sebab sikap tersebut artinya menolak wahyu Allah yang juga bisa bermakna menentang Allah SWT.
Dengan konsep ini, hal-hal yang kadang dianggap irasional sebenarnya rasional secara logika. Misalnya kisah terbakarnya nabi Ibrahim. Orang-orang yang salah dalam memegang konsep pertama berupa mencari ta’wil apa maksudnya nabi Ibrahim terbakar. Bagi mereka kepercayaan bahwa nabi Ibrahim dibakar itu irasional karena mustahil manusia yang dibakar masih bisa hidup.
Sedangkan bagi yang memegang konsep kedua, yang diperlukan hanyalah mengecek apakah cerita ini berasal dari sumber yang otentik dan punya otoritas. Bila ya, tentu harus dipercaya. Bila ditinjau lebih dalam, sikap kedua ini malah lebih rasional. Bukankah menolak selamatnya nabi Ibrahim setelah dibakar malah mengecilkan kemahakuasaan Allah.

Keterpaduan anatara iman, ilmu dan amal sholeh yang melahirkan kesalehan individu dan sosial
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup ini diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia. Aqidah sebagai dasar pendidikan akhlak “Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.
Ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak. Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah. Muamalah bisa dijalankan dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik. Sebagaimana contoh, jika berjanji harus ditepati yaitu apabila seorang berjanji maka harus ditepati. Jika orang menepati janji maka seseorang telah menjalankan aqidahnya dengan baik. Dengan menepati janji seseorang juga telah melakukan ibadah. Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan manusia arus didasari dengan aqidah yang baik.
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinanya terhadap alam juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya. Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan dari Allah
Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang berhubungan dengan aqidah. Jujur dapat terwujud apabila seseorang telah memegang konsep-konsep yang berhubungan dengan aqidah. Dengan dijalankanya konsep-konsep aqidah tersebut maka seseorang akan memiliki akhlak yang baik. Sehingga orang akan takut dalam melakukan perbuatan dosa.
Jika perbedaan dalam fiqih dimaksudkan untuk memberikan  kemungkinan, maka kesalehan tentu saja bukan dalam menjalankan fiqih, betapapun sulitnya. Yang paling saleh diantara kita bukanlah orang yang bersedekap pada waktu berdiri shalat, bukan juga yang meluruskan tangannya, karena kedua cara shalat itu merupakan ijtihat para ulama dengan merujuk pada hadis yang berbeda. Yang durhaka juga bukan yang mandi janabah sebelum tidur, atau yang tidur dulu baru mandi janabah, karena kedua-duanya dijalankan Rasullah Saw. Fikih tidak bisa dijadikan ukuran kemuliaan, tetapi kemuliaan seseorang di lihat dari kemuliaan akhlaknya.
Hubungan Aqidah dengan Ibadah
Akidah menempati posisi terpenting dalam ajaran agama Islam, ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat yang mampu menopang bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan kokoh. Demikianlah urgensi akidah dalam Islam. Akidah seseorang merupakan pondasi utama yang menopang bangunan keislaman pada diri orang tersebut. Apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya pun akan mudah dirobohkan.
Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah, keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka keimanannya akan semakin kuat, sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak akan terjerumus pada praktek ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah seseorang telah melenceng maka dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah, yang demikian inilah akan mengakibatkan lemahnya keimanan.
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, sejak kelahirnya telah dibekali dengan akal pikiran serta perasaan (hati). Manusia dengan akal pikiran dan hatinya tersebut dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar, dapat mempelajari bukti-bukti kekuasaan Allah, sehingga dengannya dapat membawa diri mereka pada keyakinan akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengakui keberadaan Allah SWT.karena selain kedua bekal yang dimiliki oleh mereka sejak lahir, Allah juga telah memberikan petunjuk berupa ajaran agama yang didalamnya berisikan tuntunan serta tujuan dari hidup mereka di dunia.
Ibadah mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Dianntaranya :
1.    Ibadah adalah hasil daripada aqidah  yaitu keimanan terhadap Allah sebenarnya yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada Allah SWt.
2.    Aqidah adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah perbuatan seseorang manusia bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah SWT.
3.    Aqidah merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia melakukan ibadat serta menghadapi segala cabaran dan rintangan.
Akidah adalah merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang tersebut pun akan kuat pula.
Amal ibadah tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul SAW.
Manusia dibekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah, menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah Allah di Bumi.
Hubungan aqidah dengan muamalah
Pola pikir, tindakan dan gagasan umat Islam hendaknya selalu bersendikan pada aqidah Islamiyah. Ungkapan “buah dari aqidah yang benar (Iman) tidak lain adalah amal sholeh” harus menjadi spirit dan etos ummat Islam. Pribadi yang mengaku muslim mestinya selalu menebar amal shalih sebagai implementasi keimanannya di manapun mereka berada. Tidak kurang 60 ayat Al Qur’an menerangkan korelasi antara keimanan yang benar dengan amal sholeh ini. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perintah beriman kepada Allah dan hari akhir selalu diikuti dengan perintah untuk melaksanakan amal shalih. Inilah makna operatif dari ungkapan “al-Islamu ‘aqidatun wa jihaadun”, bahwa kebenaran Islam itu harus diyakini sekaligus juga diperjuangkan pengamalannya secara sungguh-sungguh dalam konteks kemaslahatan dan bebas dari perilaku teror.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua.Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki dampak sosial yang baik. Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik, maka diperlukan suatu adanya.
Aqidah adalah pondasi keber-islaman yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.
Dengan kata lain, ibadah adalah pelembagaan aqidah dalam konteks hubungan antara makhkluq dengan Khaliq; akhlaq merupakan buah dari aqidah dalam kehidupan yang etis dan egaliter; dan muamalah sebagai implementasi aqidah dalam masyarakat yang bermartabahat dan menebar maslahat. Karena itu, agar aqidah tumbuh dan berkembang, aqidah harus operatif dan fungsional. Di Indonesia kita menyaksikan beberapa ormas Islam yang telah berhasil mengembangkan amal usaha atau unit pelayanan umat seperti panti sosial dan anak yatim, lembaga pendidikan dan pondok pesantren, balai pengobatan dan rumah sakit, lembaga pengumpul dan penyalur zakat serta lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya. Lembaga atau unit pelayanan umat tersebut, meminjam istilah M. Amin Abdullah, merupakan bentuk faith in action, buah keimanan yang aktif dan salah satu bentuk pengejawantahan ‘tauhid sosial’ atau ‘theologi pembangunan’. Sayanya, tidak sedikit buah faith in action tersebut yang terjebak pada bebagai kepentingan mulai dari ekonomi hingga politik.
Agar tetap kokoh dan kuat serta menjadi penyangga seluruh sendi keber-Islaman, aqidah harus dijaga, dipelihara dan dipupuk sehingga bisa hidup subur dalam pribadi setiap Muslim.Pentingnya memelihara aqidah ini juga tersirat dalamSirrah Nabawiyah. Saat membangun masyarakat Islam di Makkah dan Madidah selama 23 tahun Rasulullah Muhammad SAW tidak kenal lelah membina aqidah umatnya. Mengingat pentingnya aqidah ini bisa dimengerti bila setiap surat dalam Al Quran mengandung pokok-pokok ajaran keimanan.
Di tengah pasar bebas nilai dan ideologi saat ini, upaya merevitalisasi aqidah serasa memperoleh momentum.Mudah tergiurnya sebagian umat pada faham atau aliran-aliran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam merupakan efek dari lemahnya aqidah mereka.Ketidak peduliaan sebagian umat Islam terhadap kerusakan lingkungan dan kebobrokanmoral juga indikasi rapuhnya bangunan aqidah.Mulai memudarnya etos dan jiwa voluntarisme di kalangan umat dan semakin menguatnya syahwat duniawi adalah konsekuensi logis dari redupnya aqidah.Saatnya sekarang membenahi dan merevitalisasi aqidah agar umat memiliki pondasi yang benar, kokoh dan fungsional.Dengan bekal ini faith in actionbisa dilipatgandakan untuk menghadirkan pesona Islam yang lebih “ihsan pada kemanusiaan.”
Ajaran islam yang mengatur prilaku  manusia baik dalam kaitanya sebagai makhluk dengan tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama mahluk, dalam term fiqih atau ushul alfiqh disebut dengan syariah. Sesuai dengan  aspek yang diaturnya, syariah ini terbagi kepada dua yakni ibadah dan muamalah. Ibadah adalah syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya, sedangkan muamalah adalah syariah yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Pada gilirannya kegiatan ekonomi sebagai salah satu bentuk dari hubungan antara manusia ia bukan bagian dari aqidah, akhlaq dan ibadah melainkan bagian dari muamalah. Namun demikian masalah ekonomi tidak lepas dari maspek aqidah, akhlak maupun ibadah sebab dalam prespektif islam prilaku ekonomi harus selalu diwarnai oleh nilai-nilai aqidah, aklak dan ibadah.
Aqidah, Ibadah, dan Muamalah Serta Implikasinya dalam Kehidupan
Kaelany, mengatakan dalam bukunya, Islam Agama Universal, bahwa ajaran Islam sangatlah luas.Ulama dengan berlandaskan hadist membagi ajaran Islam tersebut dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak. Dalam hal ini, akan dibahas pengertian Aqidah serta Syari’ah (sebagai Ibadah dan Muamalah), yang mana pengertian ini didapat dari berbagai sumber, yaitu Al-qur’an, Hadist, dan berbagai resensi dari buku atau artikel.
Aqidah merupakan suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta.Makna dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain kepada Allah.
Ajaran mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal ini dinyatakan dalam AL-qur’an, yang berbunyi: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlan olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al Anbiyaa’: 25)
Akidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang, yang mana tidak ada factor apa pun yang dapat mempengaruhi atau merubah ketetapan hati seseorang tersebut.
Ibadah dan Muamalah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia.
Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:
Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal penting, yaitu:
1)    Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa)
2)    Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)
3)    Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan)
4)    Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)
5)    Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas (memelihara harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah. Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah. Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW.Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya.Tapi, dalam urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”
Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.
Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah.Sedang setiap bid’ah adalah sesat.
Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas.Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya.Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.

Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman.Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri.Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan.Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah).

0 komentar: