Kegiatan Bersama BKKBN dan Tim Unair dalam Penelitian

Kegiatan dilakukan dalam rangka melakukan penelitian Analisis Determinan Terjadinya Kehamilan pada Remaja dengan Pendekatan Socio-Ecologial Model Of Health Behavior

Kunjungan Kerja Pokajaluh Kota Palangkaraya

Pokjaluh kota Palangkaraya melaksanakan kunjungan ke kementerian agama kabupaten Malang terutama kepada pokjaluh kabupaten Malang pada tanggal 4 april 2019.

Aktualisasi Praktik Moderasi Beragama di Indonesia

Indonesia seharusnya patut berbangga, karena tidak seperti negara-negara Islam yang ada di dunia seperti halnya Timur Tengah yang sering dilanda konflik berkepanjangan .

Peningkatan Kompetensi Spiritual dan Qiyamul Lail

Kompetensi penyuluh agama Islam tidak hanya sebatas melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat akan tetapi juga mempunyai kompetensi ibadah sholat malam sebagaima yang diadakan kasi penyuluh proinsi Jawa Timur pada tanggal 13 Juni 2019.

Penanaman Mangrove di Daerah Aliran Sungai Bajulmati

Penyuluh agama Islam fungsional kabupaten Malang selain tupoksi utama bimbingan dan penyuluhan juga melakukan penanaman mangrove di dekat aliran sungai

Jumat, 12 April 2019

Aktualisasi Praktik Moderasi Beragama di Indonesia


Indonesia seharusnya patut berbangga, karena tidak seperti negara-negara Islam yang ada di dunia seperti halnya Timur Tengah yang sering dilanda konflik berkepanjangan yang ditengarahi akibat paham radikal dan politik. Umat muslim di Indonesia adalah kalangan yang memproklamasikan diri sebagai garda moderat. Namun, belakangan hadir nuansa apatis yang sedang berupaya menggerus sistem nilai yang sudah mapan di tengah masyarakat.
Ajaran-ajaran agama dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Demokrasi yang merupakan perwujudan kesepakatan politik manusia dibenturkan dengan kekuasaan Tuhan yang absolut. Jika disadari, fenomena ini adalah salah satu bentuk kegelisahan teologis yang memantik banyak peristiwa di bumi Ibu Pertiwi akhir-akhir ini. Hingga muncul suara-suara sumbang untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dengan bentangan bendera hitam-putih atau pekikan-pekikan takbir di jalanan yang tidak diimbangi dengan sikap kerendahan hati.
Tantangan terbesar para pemikir di dunia saat ini, khususnya di Indonesia adalah mendamaikan apa yang disebut dengan ekstrem kanan (fundamental) dan ekstrem kiri (liberal-sekuler). Indonesia sebagai negara kesatuan yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam agama, suku, etnis, bahasa dan budaya tentu tidak boleh memihak salah satu dari kedua hal tersebut.
Indonesia harus memiliki cara berpikir dan bernarasi sendiri agar tidak terjebak dalam sekat ruang-ruang sosial. Pada titik ini, moderasi sosio-religius sebagai integrasi ajaran inti agama dan keadaan masyarakat multikultural di Indonesia dapat disinergikan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang diambil oleh pemerintah negara. Kesadaran ini harus dimunculkan agar generasi bangsa ini bisa memahami bahwa Indonesia ada untuk semua.
Sejak dahulu, Menurut Hijrian A Prihantoro, fanatisme sektarian merupakan penyakit yang kerap menjangkiti akal sehat, sehingga akhirnya kehidupan manusia terkotakkan ke dalam gerakan yang eksklusif dan merasa bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Jika sudah seperti itu, inklusivitas kehidupan beragama dan bernegara menjadi kabur bahkan tak terbaca di benak mereka. Maka, kesadaran moderasi dalam beragama dan bernegara harus dinarasikan kembali. Bukan hanya sebagai kritik pemikiran semata, tentu juga sebagai tindakan untuk menjaga kedaulatan Negara.
Dalam konteksi ini, narasi pentingnya jalan tengah (the middle path) dalam beragama seperti yang ditulis Fathorrahman Ghufron, dalam Mengarusutamakan Islam Moderat sesungguhnya memiliki nilai urgensinya untuk terus-menerus digaungkan oleh tokoh agama, akademisi kampus yang memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai media. Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk untuk memberikan pendidikan kepada publik bahwa bersikap ekstrem dalam beragama, pada sisi manapun, akan selalu menimbulkan benturan.
Moderasi beragama menjadi sangat mendesak dalam masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia, terutama ketika masyarakat seolah terbelah sebagai imbas segregasi politik. Sesungguhnya, moderasi beragama tampak sudah menjadi visi melekat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang diejawantahkan dalam berbagai sikap dan kebijakannya yang selalu mencoba berdiri di jalan tengah, meski dengan resiko kecaman dari kedua sisi. Masalahnya, pada tataran praktis, seruan mempraktikkan moderasi beragama ini masih menghadapi banyak tantangan.
Dalam pembahasan ini tidak sedang memberikan pembenaran atas aksi terorisme. Akan tetapi, narasi yang tidak seimbang dan tidak adil seperti itu sering menjadi penyebab terbelahnya psikologi publik dalam menyikapi intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Dengan begitu, meski ekspresi kutukan terlontar serempak saat teroris beraksi, sebagian masih mencoba mencari pembenaran dan bersikap permisif. Setidaknya terhadap sikap intoleran dan radikal, yang sesungguhnya merupakan benih terjadinya tindakan kekerasan dan terorisme itu sendiri.
Peran Ormas NU
Fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. Nahdlatu ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang dimainkan semenjak lama. Oleh karena itu, organisasi ini patut disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini.
Dalam pandangan Ahmad Zainul Hamid, NU merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar. Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide keislaman yang toleran dan damai.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, menurut Hilaly Basya, NU adalah organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. Dengan demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban.
Perkataan Ahlusunnah waljama’ah dapat diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ (kesepakatan) ulama” sebagaimana dalam pendapat  Zamakhsyari Dhofier. Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga Itidal (bersikap adil), Tawazun (bersikap seimbang), dan Tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljama’ah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).
Pemikiran Aswaja sebagaimana digambarkan Husein Muhammad, sangat toleran terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat (Madzhab Hanafii, Malik, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.
Model keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, Abdurrahman Mas’ud, dalam Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, mungkin tepat apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam merupakan suatu pendekatan yang bijak. Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal (local wisdom) dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.
Karakter Islam Nusantara
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab, dalam penulisannya mengungkap bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.
Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan nabi Muhammad Saw, dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.
Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan “ber-Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”. Azyumardi Azra, juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.
Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan yang lain (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.
Aktualisasi Konsep Moderasi
Untuk meangaktualisasikan konsep moderasi beragama ke dalam realitas konstektual di Indonesia, setidaknya tiga catatan bisa dipertimbangkan;
Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis laboratorium moderasi beragama di Indonesia yang mempunyai kekayaan kultur luar biasa. Seperti yang telah dipahami bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki ragam suku dan agama. Indonesia memiliki kekhasan yang unik, tetapi penuh dengan tantangan. Adapun langkah strategisnya; 1) Moderasi beragama harus menjadi perhatian pemerintah dalam membuat narasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN); 2) Melibatkan lembaga pendidikan: pesantren, madarasah dan sekolah maupun lembaga non formal lainnya dalam memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kerukunan beragama, dan moderasi beragama; 3) Mengembangkan literasi keagamaan (religious literacy) dan pendidikan lintas iman (interfaith education); 4) Sekolah harus memperbanyak praktik pengalaman keagamaan yang berbeda sehingga dapat menjalin kerja sama antar pemeluk agama;
Kedua, melunakkan dua kelompok ekstrem, yakni apa yang disebut dengan ekstrem kanan (fundamental) dan ekstrem kiri (liberal-sekuler); Semakin ekstrem salah satu dari dua kelompok ini, pada gilirannya akan direspon oleh kelompok ekstrem lainnya sehingga bisa memicu ketegangan.
Ketiga, pendekatan moderasi sosio-religius dalam beragama dan bernegara dapat diarusutamakan diantaranya dengan menghayati dua konsep rahmat berikut ini: 1) Rahmatan likulli 'aqilin, artinya bahwa agama harus senantiasa berbuat baik dan penuh kasih sayang kepada siapa saja; 2) Rahmatan likulli ghairi 'aqilin, adalah rahmat selain kepada siapa saja, kita juga harus bersikap rahmat kepada apa saja. Penafsiran dua model relasi rahmat (kepada siapa dan apa saja sekaligus) ini dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya dengan menghadirkan bukti-bukti sikap rahmat yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. (Tulisan Sudah Dikutkan Dalam Program Ditjen Bimas Islam Program Diseminasi Konten/naskah Moderasi Beragam Tahun 2019)