Kegiatan Bersama BKKBN dan Tim Unair dalam Penelitian

Kegiatan dilakukan dalam rangka melakukan penelitian Analisis Determinan Terjadinya Kehamilan pada Remaja dengan Pendekatan Socio-Ecologial Model Of Health Behavior

Kunjungan Kerja Pokajaluh Kota Palangkaraya

Pokjaluh kota Palangkaraya melaksanakan kunjungan ke kementerian agama kabupaten Malang terutama kepada pokjaluh kabupaten Malang pada tanggal 4 april 2019.

Aktualisasi Praktik Moderasi Beragama di Indonesia

Indonesia seharusnya patut berbangga, karena tidak seperti negara-negara Islam yang ada di dunia seperti halnya Timur Tengah yang sering dilanda konflik berkepanjangan .

Peningkatan Kompetensi Spiritual dan Qiyamul Lail

Kompetensi penyuluh agama Islam tidak hanya sebatas melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat akan tetapi juga mempunyai kompetensi ibadah sholat malam sebagaima yang diadakan kasi penyuluh proinsi Jawa Timur pada tanggal 13 Juni 2019.

Penanaman Mangrove di Daerah Aliran Sungai Bajulmati

Penyuluh agama Islam fungsional kabupaten Malang selain tupoksi utama bimbingan dan penyuluhan juga melakukan penanaman mangrove di dekat aliran sungai

Minggu, 30 Mei 2021

LEMBAGA PENDIDIKAN HARAPAN BAJULMATI SEBAGAI ROLE MODEL KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI MALANG SELATAN

Letak Indonesia dari Sabang sampai Merauke memperlihatkan geografi kepulauan yang luas dengan kekayaan etnis yang sangat berlimpah (Widiastuti, 2013). Dampaknya, kekayaan alam khas untuk setiap daerah dan wilayah beragam. Secara sosiologis, fakta geografis itu ikut meyebabkan beragamnya etnik dan bahasa sesuai kebudayaan masing-masing wilayah dan daerah. Dari sisi manapun diamati, Indonesia adalah negara yang sangat penuh dengan kemajemukan. Termasuk dalam hal politik (Rahayu, 2017), dan terlebih keagamaan, dimana gereja berada di dalam kancah pluralisme dengan penganut agama lain dari Katolik, Buddha, Hindu, Islam, dan belakangan ini yang baru diterima sebagai agama resmi di Indonesi adalah Kong Hu Chu (Soesilo, 2011). Kesimpulan yang dibuat Yewangoe sangat tepat, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara majemuk dari segi manapun. Itulah yang menjadi kunci identitas Indonesia yang sejati (Yewangoe, 2002). Berdasarkan fakta kemajemukan tersebut, setiap agama di Indonesia tidak dapat memungkiri fenomena pluralitas dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama sebagai sesama warga negara. Di satu pihak, setiap agama dan pemeluknya, memiliki klaim normatif dan deskripsi yang bersifat apologetik mengenai ajaran, doktrin dan kebenaran absolut sesuai iman dan kepercayaannya. Di sisi lain, setiap agama dan pemeluknya harus memposisikan dirinya di dalam kerangka kemajemukan untuk menjamin keutuhan dan indentitas keindonesiaan tersebut (Lestari, 2016). Persoalannya, sebagaimana konflik etnis dan agama yang menjadi tren di dalam kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini, kemajemukan tersebut selain menjadi potensi yang baik di satu sisi juga menjadi pemicu lahirnya tindakan intoleransi akibat sikap penganut agama yang eksklusif, fanatis dan merasa diri lebih dominan dibanding yang lain. Kasus-kasus yang muncul menyangkut kebenaran sektarian, benturan hal-hal normatif, fanatisme dan dominasi kekuasaan atas nama agama, membuktikan bahwa dibalik kemajemukan yang terjadi, terdapat kerentanan yang berpotensi merusak kemajemukan itu sendiri ketika para pemeluk agama tidak mengikat diri dalam toleransi sehingga konflik terjadi (Halim & Jambi, 2015). Terlebih jika dikaitkan secara politis, konflik-konfik horizontal yang terjadi atas nama agama menjadi tren belakangan ini di Indonesia. Penelitian Muhtadi yang dituangkan di dalam bukunya berjudul Populisme, Politik Identitas dan Dinamika Elektoral-Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, telah membuktikan fenomena tersebut (Muhtadi, 2019). Menguatnya politik identitas menjadi jalan terbuka bagi berbagai kepentingan di tengah realitas kemajemukan Indonesia. Demikian penelitian yang dibuat Zaluchu dan Widjaja, tentang maraknya penggunaan religious symbol di dalam politik menyatakan dengan terang benderang bahwa agama dengan sangat mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan (Zaluchu & Widjaja, 2019), baik oleh kepentingan agama itu sendiri maupun oleh kepentingan eksternal. Menyadari potensi kekuatan dan kelemahan di dalam kemajemukan berbangsa, bernegara, bersosialisasi dan berpolitik serta beragama di Indonesia, para founding father’s bangsa ini telah menyediakan payung besar bagi keberagaman alamiah Indonesia, yang disebut Pancasila (Kirom, 2011). Payung tersebut menjadi platform bagi kemajemukan, dan menyediakan payung nilai-niai luhur yang berada di atas dan melampaui perbedaan budaya, bahasa, etnis, wilayah dan agama di Indonesia. Keberadaannya membentuk nilai dan karakter sehingga sebagai falsafah dasar, perilaku orang Indonesia di dalam kemajemukan tetap memiliki “gaya sentrifugal‟ yang mempertahankan keindonesiaan secara internal (Nishimura, 1995). Sekalipun demikian, konflik-konflik horizontal bertemakan SARA, masih tetap saja menjadi persoalan simultan dan temporar diberbagai wilayah Indonesia (Fauzi, 2017), akibat kurangnya edukasi di dalam membentuk pemahaman keberagaman berdasarkan Pancasila di dalam rumah bersama yang bernama Indonesia (Raharjo et al., 2017). Lembaga pendidikan merupakan dasar utama dalam membentuk nilai-nilai agama dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama, seperti halnya pendidikan yang ada di Malang Selatan, Meskipun sarana pendidikan tampak seperti “laskar pelangi” apa adanya dan tidak mementingkan fasilitas yang mewah, namun nilai-nilai kemanusiaan dan kesamaan harkat dan martabat manusia di bangun dari lembaga pendidikan ini. Kultur peserta didiknya menganut kepercayaan yang berbeda agama seperti Hindu, Buddha, Kristen dan Islam. Lembaga yang bernapaskan Islam tetapi peminatnya dari beberapa agama dengan kehidupan yang rukun dan damai....artikel lebih lengkap bisa di lihat di https://jurnaldialog.kemenag.go.id/index.php/dialog/article/view/383.