Aqidah
Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal
dari Allah) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia.
Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini:
Pertama, Al Wudhuh wa al
Basathah (jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang
terjadi pada konsep trinitas dan
sebagainya. Kedua, Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah
bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah SWT
:“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” (QS. Ar Ruum:30).
Ketiga,
Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari
siapapun. Firman Allah SWT:”Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah ?“(QS. Asy Syuura:21), Keempat,
dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan
pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam
selalu menegakkan sebagimana dissebut dalam Al-Qur’an: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS
Al Baqarah: 111). Kelima, Al Wasthiyyah
(moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan
maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan
penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan mengikuti jejak mereka”(QS. Az Zukhruf:22).
Aqidah Islam Sebagai Aqidah Yang
Rasional
Setidaknya ada
dua konsep yang dimaksud dengan Islam sebagai agama yang rasional. Pertama, konsep yang biasa beredar di
masyarakat. Menurut pengertian ini, yang dimaksud Islam agama rasional adalah
Islam memiliki pembenaran rasional
atas aturan-aturannya bahkan aqidahnya. Kedua,
Islam merupakan agama yang rasional karena dasar-dasarnya dibangun atas hujjah-hujjah yang dapat dibuktikan
secara rasional.
Konsep pertama
Secara
sederhana, yang dimaksud pembenaran “rasional” adalah ada manfaatnya. Aturan
yang ada dalam Islam pasti mengandung manfaat. Dengan konsep ini, ramailah
orang mencari-cari apa manfaat dari suatu perintah atau larangan Allah.
Fenomena dari pendapat ini bisa kita lihat dari ramainya buku tentang manfaat shalat, wudhu, shaum ditinjau dari
berbagai segi seperti kesehatan atau psikologis.
Orang yang
memegang konsep pertama ini berpendapat bahwa pada masa lalu ilmu pengetahuan
belum berkembang sehingga orang-orang tidak perlu dijelaskan manfaat-manfaatnya.
Sedangkan dizaman sekarang orang-orang tidak akan menerima Islam bila tidak
dijelaskan manfaat-manfaatnya, khususnya secara ilmiah.
Islam tidak
melarang untuk mencari tahu apa manfaat suatu aturan. Islam juga tidak melarang
mencari korelasi antara suatu aturan dengan penyelesaian suatu
permasalahan.Dalam bahasa ushul fiqih, kedua hal ini disebut sebagai
hikmah.Bila disikapi sebagai hikmah tentu menambah keimanan kita kepada Allah
SWT. Hanya saja kedua hal itu bukan alasan adanya aturan itu. Bahkan kita tidak
akan pernah tahu alasan Allah SWT memerintahkan suatu hal kecuali Allah
memberitahukan alasannya kepada kita.
Jika tidak
disikapi seperti di atas cara seperti ini bisa jadi masalah karena tidak semuanya
bisa kita cari-cari manfaatnya. Lebih dari manfaat yang dikemukakan seringkali
subjektif dan kondisional. Sebagai contoh masa iddah perempuan. Islam menetapkan masa iddah perempuan salah
satunya adalah tiga bulan sepuluh hari. Hikmah iddah ini adalah untuk membedakan ayah kandung bayi yang lahir
sembilan bulan setelah pernikahan baru. Bila hikmah tersebut adalah alasan,
tentu kehadiran teknologi bisa mengurangi waktu iddah tersebut. Waktu iddah hanya tinggal butuh waktu lima menit. Kekhawatiran
ini terbukti yakni sudah ada upaya rasionalisasi
terhadap aqidah dan syariah yang tidak diterima pembenaran rasional-nya.Keyakinan
dan aturan yang tidak ada manfaatnya dan tidak sesuai dengan modernitas, baik
bertentangan dengan HAM dan Demokrasi, harus dibuang.
Aqidah Islam berisifat universal
Pendekatan
rasional adalah salah satu pendekatan yang universal.Tentu saja karena
fitrahnya setiap manusia memiliki akal untuk berpikir. Meski seseorang awalnya
menerima Islam dengan jalur lain, suatu saat ia akan menanyakan secara
rasional, mengapa saya shalat misalnya.
Rasional
menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya “menurut pikiran dan pertimbangan dengan
alasan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal; sesuai dengan
akal sehat”. Atau sederhananya rasional itu “logis” atau “masuk akal”.
Adapun manfaat
dari buah fikiran adalah untuk mengetahui Allah, nama, serta sifat-sifat-Nya
yang Sempurna dan Agung. Dengannya orang-orang mukmin beriman kepada
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, pertemuan dengan-Nya, dan para Malaikat-Nya. Dengan
buah fikiran, dapat diketahui ayat-ayat Rububiyah-Nya,
dalil-dalil Wahdaniah-Nya, serta
mukjizat para rasul-Nya.
Dengan buah
fikiran pula, perintah-perintah Allah dapat dilaksanakan dan
larangan-larangan-Nya bisa ditinggalkan. Umar bin Khaththab r.a berkata, “Orang yang berakal itu bukanlah yang bisa
membedakan antara yang baik dari yang buruk, akan tetapi yang bisa mengetahui
mana yang lebih baik dari dua keburukan.”
Aqidah
Islam Merupakan Aqidah yang terbuka
Hujjah
yang rasional baik otentisitas dan otoritas sumber agama dapat dibuktikan
validitasnya. Sumber agama yang dimaksud yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Membuktikan otentisitas maksudnya membuktikan
bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sekarang masih sama dengan saat masa turun dan
keluarnya. Sedangkan membuktikan otoritasnya maksudnya kita harus bisa
membuktikan bahwa keduanya adalah wahyu Allah. Sikap membuktikan otentisitas dan otoritas sumber adalah sikap yang rasional.
Ketika kedua
sumber tersebut sah otentisitas dan otoritasnya, maka sikap menerima apapun isi
kedua sumber agama tersebut bisa disebut sikap yang rasional pula. Lebih dari
itu mempertanyakan manfaat isi dari kedua sumber itu dengan maksud ingin
menghapusnya justru merupakan sikap yang tidak rasional. Sebab sikap tersebut
artinya menolak wahyu Allah yang juga bisa bermakna menentang Allah SWT.
Dengan konsep
ini, hal-hal yang kadang dianggap irasional
sebenarnya rasional secara logika. Misalnya
kisah terbakarnya nabi Ibrahim. Orang-orang yang salah dalam memegang konsep
pertama berupa mencari ta’wil apa
maksudnya nabi Ibrahim terbakar. Bagi mereka kepercayaan bahwa nabi Ibrahim
dibakar itu irasional karena mustahil
manusia yang dibakar masih bisa hidup.
Sedangkan bagi
yang memegang konsep kedua, yang diperlukan hanyalah mengecek apakah cerita ini
berasal dari sumber yang otentik dan
punya otoritas. Bila ya, tentu harus
dipercaya. Bila ditinjau lebih dalam, sikap kedua ini malah lebih rasional. Bukankah menolak selamatnya
nabi Ibrahim setelah dibakar malah mengecilkan kemahakuasaan Allah.
Keterpaduan anatara
iman, ilmu dan amal sholeh yang melahirkan kesalehan individu dan sosial
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh
manusia. Keyakinan hidup ini diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk
mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan
pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia. Aqidah sebagai
dasar pendidikan akhlak “Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah
aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari
aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan
benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula
sebaliknya, jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.
Ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang
seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak.
Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa
menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik
apabila telah sesuai dengan muamalah. Muamalah bisa dijalankan dengan baik
apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik. Sebagaimana contoh, jika
berjanji harus ditepati yaitu apabila seorang berjanji maka harus ditepati.
Jika orang menepati janji maka seseorang telah menjalankan aqidahnya dengan
baik. Dengan menepati janji seseorang juga telah melakukan ibadah. Pada
dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan manusia arus didasari dengan aqidah
yang baik.
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan
keyakinanya terhadap alam juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui
sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan mudah berperilaku baik
sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan
meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya. Pendidikan akhlak yang
bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti
oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya
inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau membawa
mereka mendapatkan balasan kebaikan dari Allah
Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang berhubungan
dengan aqidah. Jujur dapat terwujud apabila seseorang telah memegang
konsep-konsep yang berhubungan dengan aqidah. Dengan dijalankanya konsep-konsep
aqidah tersebut maka seseorang akan memiliki akhlak yang baik. Sehingga orang
akan takut dalam melakukan perbuatan dosa.
Jika perbedaan dalam fiqih dimaksudkan untuk memberikan
kemungkinan, maka kesalehan tentu saja bukan dalam menjalankan fiqih,
betapapun sulitnya. Yang paling saleh diantara kita bukanlah orang yang
bersedekap pada waktu berdiri shalat, bukan juga yang meluruskan tangannya,
karena kedua cara shalat itu merupakan ijtihat para ulama dengan merujuk pada
hadis yang berbeda. Yang durhaka juga bukan yang mandi janabah sebelum tidur,
atau yang tidur dulu baru mandi janabah, karena kedua-duanya dijalankan
Rasullah Saw. Fikih tidak bisa dijadikan ukuran kemuliaan, tetapi kemuliaan
seseorang di lihat dari kemuliaan akhlaknya.
Hubungan
Aqidah dengan Ibadah
Akidah menempati posisi terpenting dalam ajaran agama Islam,
ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat yang mampu menopang
bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan kokoh. Demikianlah
urgensi akidah dalam Islam. Akidah seseorang merupakan pondasi utama yang
menopang bangunan keislaman pada diri orang tersebut. Apabila pondasinya tidak
kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya pun akan mudah dirobohkan.
Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk realisasi keimanan seseorang,
tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas dasar akidah yang salah. Hal
ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang adalah sangat bergantung pada
kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang diyakini orang tersebut.
Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah, keimanan serta amal ibadah
mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka keimanannya akan
semakin kuat, sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak akan terjerumus
pada praktek ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah seseorang telah
melenceng maka dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah, yang demikian
inilah akan mengakibatkan lemahnya keimanan.
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap
tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu
ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah.
Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, sejak
kelahirnya telah dibekali dengan akal pikiran serta perasaan (hati). Manusia
dengan akal pikiran dan hatinya tersebut dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang benar, dapat mempelajari bukti-bukti kekuasaan Allah, sehingga
dengannya dapat membawa diri mereka pada keyakinan akan keberadaan-Nya. Oleh
karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengakui keberadaan Allah
SWT.karena selain kedua bekal yang dimiliki oleh mereka sejak lahir, Allah juga
telah memberikan petunjuk berupa ajaran agama yang didalamnya berisikan
tuntunan serta tujuan dari hidup mereka di dunia.
Ibadah
mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Dianntaranya :
1. Ibadah adalah hasil daripada aqidah yaitu keimanan
terhadap Allah sebenarnya yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada
Allah SWt.
2. Aqidah adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah
perbuatan seseorang manusia bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah SWT.
3. Aqidah merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia
melakukan ibadat serta menghadapi segala cabaran dan rintangan.
Akidah adalah merupakan pondasi utama kehidupan keislaman
seseorang. Apabila pondasi utamanya kuat, maka bangunan keimanan yang
terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang tersebut pun akan kuat pula.
Amal ibadah tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah
yang benar. amal ibadah dinilai benar apabila dilakukan hanya untuk Allah
semata dengan ittiba’ Rasul SAW.
Manusia dibekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut
mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah, menganalisa hakikat
kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya diciptakan di dunia.
Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk
lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah Allah
di Bumi.
Hubungan
aqidah dengan muamalah
Pola pikir, tindakan dan gagasan umat Islam hendaknya selalu bersendikan pada aqidah Islamiyah. Ungkapan “buah dari aqidah yang benar
(Iman) tidak lain adalah amal sholeh” harus menjadi spirit dan etos ummat
Islam. Pribadi yang mengaku muslim mestinya selalu menebar amal shalih sebagai implementasi keimanannya di manapun mereka
berada. Tidak kurang 60 ayat Al Qur’an menerangkan korelasi antara keimanan
yang benar dengan amal sholeh ini. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perintah
beriman kepada Allah dan hari akhir selalu diikuti dengan perintah untuk
melaksanakan amal shalih. Inilah makna operatif dari ungkapan “al-Islamu
‘aqidatun wa jihaadun”, bahwa kebenaran Islam itu harus diyakini sekaligus
juga diperjuangkan pengamalannya secara sungguh-sungguh dalam konteks
kemaslahatan dan bebas dari perilaku teror.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan
oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya,
oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu
semua.Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik
apabila telah memiliki dampak sosial yang baik. Untuk dapat mewujudkan aqidah
yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik, maka
diperlukan suatu adanya.
Aqidah adalah pondasi keber-islaman yang tak terpisahkan
dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan
ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat.
Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam
yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan
menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan
memelihara aqidah.
Dengan kata lain, ibadah adalah pelembagaan aqidah dalam
konteks hubungan antara makhkluq dengan Khaliq; akhlaq merupakan buah dari
aqidah dalam kehidupan yang etis dan egaliter; dan muamalah sebagai
implementasi aqidah dalam masyarakat yang bermartabahat dan menebar maslahat. Karena
itu, agar aqidah tumbuh dan berkembang, aqidah harus operatif dan fungsional.
Di Indonesia kita
menyaksikan beberapa ormas Islam yang telah berhasil mengembangkan amal usaha
atau unit pelayanan umat seperti panti sosial dan anak yatim, lembaga
pendidikan dan pondok pesantren, balai pengobatan dan rumah sakit, lembaga
pengumpul dan penyalur zakat serta lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya.
Lembaga atau unit pelayanan umat tersebut, meminjam istilah M. Amin Abdullah,
merupakan bentuk faith in action, buah keimanan yang aktif dan
salah satu bentuk pengejawantahan ‘tauhid sosial’ atau ‘theologi
pembangunan’. Sayanya, tidak sedikit buah faith in action tersebut
yang terjebak pada bebagai kepentingan mulai dari ekonomi hingga politik.
Agar tetap kokoh dan kuat serta menjadi penyangga seluruh
sendi keber-Islaman, aqidah harus dijaga, dipelihara dan dipupuk sehingga bisa
hidup subur dalam pribadi setiap Muslim.Pentingnya memelihara aqidah ini juga
tersirat dalamSirrah Nabawiyah. Saat membangun masyarakat Islam di
Makkah dan Madidah selama 23 tahun Rasulullah Muhammad SAW tidak kenal lelah
membina aqidah umatnya. Mengingat pentingnya aqidah ini bisa dimengerti bila
setiap surat dalam Al Quran mengandung pokok-pokok ajaran keimanan.
Di tengah pasar bebas nilai dan ideologi saat ini, upaya
merevitalisasi aqidah serasa memperoleh momentum.Mudah tergiurnya sebagian umat
pada faham atau aliran-aliran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
merupakan efek dari lemahnya aqidah mereka.Ketidak peduliaan sebagian umat
Islam terhadap kerusakan lingkungan dan kebobrokanmoral juga indikasi rapuhnya bangunan aqidah.Mulai
memudarnya etos dan jiwa voluntarisme di kalangan umat dan semakin menguatnya
syahwat duniawi adalah konsekuensi logis dari redupnya aqidah.Saatnya sekarang
membenahi dan merevitalisasi aqidah agar umat memiliki pondasi yang benar,
kokoh dan fungsional.Dengan bekal ini faith in actionbisa
dilipatgandakan untuk menghadirkan pesona Islam yang lebih “ihsan pada
kemanusiaan.”
Ajaran islam yang mengatur prilaku manusia baik dalam
kaitanya sebagai makhluk dengan tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama
mahluk, dalam term fiqih atau ushul alfiqh disebut dengan syariah. Sesuai
dengan aspek yang diaturnya, syariah ini terbagi kepada dua yakni ibadah
dan muamalah. Ibadah adalah syariah yang mengatur hubungan antara manusia
dengan tuhannya, sedangkan muamalah adalah syariah yang mengatur hubungan
antara sesama manusia. Pada gilirannya kegiatan ekonomi sebagai salah satu
bentuk dari hubungan antara manusia ia bukan bagian dari aqidah, akhlaq dan
ibadah melainkan bagian dari muamalah. Namun demikian masalah ekonomi tidak
lepas dari maspek aqidah, akhlak maupun ibadah sebab dalam prespektif islam
prilaku ekonomi harus selalu diwarnai oleh nilai-nilai aqidah, aklak dan
ibadah.
Aqidah, Ibadah,
dan Muamalah Serta Implikasinya dalam Kehidupan
Kaelany, mengatakan dalam bukunya, Islam Agama Universal,
bahwa ajaran Islam sangatlah luas.Ulama dengan berlandaskan hadist membagi
ajaran Islam tersebut dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan
Akhlak. Dalam hal ini, akan dibahas pengertian Aqidah serta Syari’ah (sebagai
Ibadah dan Muamalah), yang mana pengertian ini didapat dari berbagai sumber,
yaitu Al-qur’an, Hadist, dan berbagai resensi dari buku atau artikel.
Aqidah merupakan suatu istilah untuk menyatakan
“kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang
telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta.Makna dari keimanan kepada Allah
adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan,
pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain
kepada Allah.
Ajaran
mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal
ini dinyatakan dalam AL-qur’an, yang berbunyi: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad)
melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlan olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al Anbiyaa’: 25)
Akidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang,
yang mana tidak ada factor apa pun yang dapat mempengaruhi atau merubah
ketetapan hati seseorang tersebut.
Ibadah
dan Muamalah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan
Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan
hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia.
Ada
dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:
Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang
menjaga kehormatan manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau
menjamin lima hal penting, yaitu:
1)
Menjamin kebebasan beragama
(Berketuhanan Yang Maha Esa)
2)
Menjamin kehiupan yang layak
(memelihara jiwa)
3)
Menjamin kelangsungan hidup keluarga
(menjaga keturunan)
4)
Menjamin kebebasan berpikir
(memelihara akal)
5)
Menjamin kehidupan dengan tersedianya
lapangan kerja yang pantas (memelihara harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima
hukum Islam, seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah. Muamalah
adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah. Ibadah
wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada
contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW.Konsep ibadah ini
berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah ini antara lain
meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan
kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti
makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas
dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi
Muhammad SAW mengatakan: “Bila dalam
urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya.Tapi, dalam urusan dunia
Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”
Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada
suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah
SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah
itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat).
Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk
diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena
apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.
Dalam
hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita
perhatikan, yaitu:
Pertama:
Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya,
karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang
ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan
ibadah adalah bid’ah.Sedang setiap bid’ah adalah sesat.
Kedua:
Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam
masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani
Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya
melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk
mengingat dua prinsip di atas.Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak
hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW
semasa hidupnya.Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh
Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.
Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus
diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman.Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu
sendiri.Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan.Hal ini telah diterangkan oleh
Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam
kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang
mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta
sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman
modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena
tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas
dalam Al-Qur’an dan Sunnah).
0 komentar:
Posting Komentar