Pengertian Iman
Pengertian
secara etimologis pengertian iman berasal dari bahasa Arab yaitu iman
yang berarti "percaya". Perkataan iman diambil
dari kata kerja aamana-yukminu yang berarti
"percaya" atau "membenarkan". Sedangkan secara istilah
syar’i, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan
anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan
maksiat. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab
itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan
berkurang. Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al
Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama selainnya.[1] Dengan demikian definisi iman
memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa
bertambah dan bisa berkurang
Dalam
Firman Allah QS. Al Fath [48] : 4 berbunyi “Agar bertambah keimanan mereka
di atas keimanan mereka yang sudah ada.”
Imam
Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah
dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia
bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal.[2] Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah
bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku
tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.[3]
Allah
SWT telah menjelaskan pengertian orang yang beriman seperti dalam surat
Al-Baqoroh ayat 3 yang artinya: Orang yang beriman adalah mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Isi kandungan ayat di atas
adalah sebagai berikut: 1) Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai
dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah
mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. 2) Yang ghaib ialah yang tak
dapat ditangkap oleh panca indera. percaya kepada yang ghaib yaitu,
mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah,
malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. 3) Shalat menurut bahasa 'Arab:
doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai
dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan
pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah
menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan
adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan
apa yang dibaca dan sebagainya. 4) Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya.
menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah
direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama
memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat,
anak-anak yatim dan lain-lain.
Sedangkan
pengertian iman menurut hadits Rasulullah Saw adalah sebagai berikut: Artinya:
“Dari Ibnu Hajar Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda: Iman adalah Pengetahuan hati, pengucapan lisan dan pengamalan dengan
anggota badan” (H.R. Ibnu Majah dan At-Tabrani).
Isi kandungan hadits di atas
menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membentuk keimanan seseorang itu ada 3,
yaitu: Pengetahuan hati, pengucapan lisan dan pengamalan dengan anggota badan.
Pengetahuan Hati
Berbicara
tentang iman, tentu berbicara tentang keyakinan. Maka secara mutlak orientasi
pembahasan di titik beratkan pada jiwa seseorang atau lazimnya di sebut
“qalbu”. Hati merupakan pusat dari satu keyakinan, kita semua sepakat bahwa
dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok kejadian, terbentuknya jazad dan
rohani, apabila keduanya pincang atau salah satu di antaranya kurang, maka
secara mutlak tidak mungkin terbentuk makhluk yang bernama manusia. Orang yang
beriman hatinya harus ma’rifat kepada Allah, mengetahui siapakah Allah itu,
karena tanpa mengenal Allah mustahil seseorang akan beriman kepada Allah.
Pengucapan Lisan
Setelah
mengenal Allah dan meyakini dengan sepenuh hati, seorang mukmin diwajibkan
mengakui dan mengikrarkan dengan lisan, yakni dengan mengucapkan dua kalimat
syahadah .
Pengamalan dengan anggota badan
Amal
merupakan unsur dari iman. Seperti perkataan Imam Ibnu Abdil Barr:: “Para ahli
fiqih dan hadis telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan
tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat”. Al-Imaam Ibnul-Qayyim al-Jauziy
juga berkata berkata : “Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan.
Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i‘tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu
perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat ). Perbuatan juga ada
dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota
badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan
kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tasdiiq) dalam hati, tidak akan
bermanfaat tiga hal yang lainnya”. Al-Imam Malik, al-Syafi’i, Ahmad, al-Auza‘i,
Ishaq ibn Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadis serta ulama Madinah demikian
juga para pengikut mazhab Zahiriyyah dan sebagian ulama mutakallimin
berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan
dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal
termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.
2. Prinsip-Prinsip Keimanan Dalam
Islam
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat,
iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari
akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah
dijelaskankan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya
Allah berfirman dalam kitab sucinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, para Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah
: 177).
Dalam masalah takdir, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut takdir (ukuran), dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti
kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 49-50).
Nabi SAW bersabda disaat menjawab pertanyaan
Malaikat jibril tentang iman :“Iman adalah: engkau beriman kepada Allah,
para Malaikat, kitab-kitab, para Rasul-Nya, hari kemudian, dan beriman kepada
takdir yang baik dan yang buruk.”(HR. Musli ).
Iman kepada Allah mencakup empat hal: Beriman
kepada keberadaan Allah, Beriman kepada
Rububiyah Allah, Beriman kepada Uluhiyah Allah dan Beriman kepada Asma’ dan
sifat Allah, Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
Beriman kepada keberadaan Allah
Wujud
Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a. Bukti
fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan
fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Dan
kenyataan ini diakui oleh setiap orang yang memiliki fitrah yang benar yang di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu
yang memalingkannya dari fitrah ini Rasulullah SAW bersabda: “Semua bayi
dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
b. Bukti
akal tentang wujud Allah adalah proses penciptaan semua makhluk, bahwa semua
makhluk pasti ada yang menciptakan. Karena tidak mungkin makhluk menciptakan
dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin
makhluk menciptakan dirinya sendiri, karena makhluk sebelum diciptakan tentulah
ia tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada, mustahil mampu menciptakan sesuatu. Semua
makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan
pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan- aturan yang harmonis,
tersusun rapi, dan adanya hubungan yang erat antara sebab dan musabab, antara
alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan
seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan,
pada awalnya pasti tidak teratur, maka bagaimana mungkin kemudian dia menjadi
teratur dan tetap bertahan teratur tanpa ada faktor lain. Kalau makhluk tidak
dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka
jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta
alam. Allah SWT menyebutkan dalil aqli (akal) yang qath’i dalam surat Ath-
thur: “Apakah mereka
diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” (
QS. Ath-thur: 35). Dari tersebut jelaslah bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa
pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang
menciptakan makhluk adalah Allah SWT. Ketika Jubair bin Muth’im mendengar
Rasulullah SAW yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat
ini: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka menciptakan
(diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?
Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi
mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekalah yang berkuasa?”( QS.
At-Thur: 35-37). Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “jiwaku hampir
saja melayang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR.
Bukhari). Dalam hal ini Kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang
bercerita kepada anda tentang istana yang megah, yang dikelilingi kebun-kebun,
dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan permadani, dan dihiasi dengan
berbagai jenis hiasan utama dan pelengkap, lalu orang itu mengatakan kepada
anda bahwa istana dengan segala kesempurnaanya ini ada dengan sendirinya, atau
tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya,
dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Jika demikian
halnya, apakah mungkin alam semesta yang luas ini beserta isinya; bumi, langit
dan galaxy-galaxy dengan sistem yang sangat rapi dan elok tercipta dengan
sendirinya atau tercipta secara kebetulan
c. Dalil
syara’ tentang wujud Allah I
bahwa seluruh kitab samawi (yang diturunkan dari langit) berbicara
tentang hal ini. Seluruh hukum syara` yang mengandung kemaslahatan manusia yang
dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb
yang maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya.
Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan
kebenarannya yang dijelaskan di dalam kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau
bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb Yang Maha Kuasa untuk
mewujudkan apa yang diberitakan-Nya.
d. Dalil
logika tentang wujud Allah I
dapat dibagi menjadi dua: Pertama, kita
mendengar dan menyaksikan terkabulnya do’a orang-orang yang berdo’a serta
pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal
ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah sebagaimana Firman Allah SWT: “Dan
(ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo’a, dan Kami memperkenankan
do’anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”
( QS. Al-Anbiya: 76). Dan Juga Firman Allah SWT : “Ingatlah), ketika
kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu …”(QS.
Al-Anfal: 9). Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata,
“Pernah ada seorang badui datang pada hari jum’at. Pada waktu itu Nabi SAW
sedang berkhutbah. Lelaki itu berkata , “Hai Rasul Allah, harta benda kami
telah binasa, seluruh warga ditimpa kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah
kepada Allah I
untuk mengatasi kesulitan kami. “Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan
berdo’a. tiba-tiba awan datang bergulung-gulung bagaikan gunung-gunung. Sebelum
Rasulullah turun dari mimbar, hujan terlebih dahulu turun dan membasahi jenggot
beliau. Pada hari jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan
berkata, ‘Hai Rasulullah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam,
berdoalah kepada Allah (agar kami selamat).’ Rasulullah lalu mengangkat kedua
tangannya, seraya berdo’Allah, “Ya Rabbi, turunkanlah hujan di sekeliling
negeri kami, dan jangan Engkau turunkan di negeri kami.” Akhirnya setiap tempat
yang beliau tunjuk dengan tangannya menjadi terang (tanpa hujan).” (HR.
Bukhari). Hingga di masa kita sekarang ini, kita menyaksikan dan mendengar
terkabulnya do`a orang –orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah SWT. Kedua, Tanda-tanda kebenaran para Nabi
yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang
merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu
Allah SWT, karena hal-hal itu terjadi di luar kemampuan manusia. Allah
melakukannya sebagai bukti penguat kebenaran, dan menolong para Rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa
as. untuk memukul tongkatnya ke laut, Musa memukulnya, lalu laut terbelah
menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu
menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman: “Lalu Kami
mewahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
( QS. Asy-Syuara’: 63). Contoh kedua: mukjizat Nabi Isa as. yang
menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur
dengan izin Allah. “…dan aku dapat menghidupkan orang mati dengan seizin
Allah…” (QS. Al-Imran: 49). “…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan
orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan izin-Ku..” ( QS. Al-Maidah:
110). Contoh ketiga: mukjizat Nabi Muhammad SAW ketika kaum Quraisy meminta
bukti kenabiannya. Beliau mengacungkan tangannya menunjuk ke arah bulan, disaat
itu juga bulan terbelah menjadi dua, dan kejadian ini disaksikan oleh orang
banyak. Sebagaimana firman Alla SWT: “Telah
dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka
(orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan
berkata , “(ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al-Qomar: 1-2). Mukjizat-mukjizat
tersebut yang diciptakan Allah SWT untuk membuktikan kebenaran seorang nabi,
yang dapat dirasakan oleh indera manusia menjadi bukti keniscayaan wujud dan
keberadaan Allah SWT.
Beriman kepada Rububiyah Allah SWT
Beriman kepada Rububiyah Allah
maksudnya: beriman sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Pengatur alam semesta,
tiada sekutu dan tiada penolong selain Dia.
Rabb adalah Zat yang
menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah,
tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah-Nya.
Sebagaimana firmannya“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah.
Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS.
Al-A’raf: 54). Difirmankan Juga "…Yang (berbuat) demikian itulah Allah
Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah)
selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS.
Fathir: 13).
Tidak ada makhluk
yang mengingkari kerububiyahan Allah SWT, kecuali orang yang congkak sedang ia
tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir`aun ketika
berkata kepada kaumnya: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” ( QS.
An-Naziat: 24) Dan juga ketika berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS. Al-Qashash: 38)
Oleh karena itu,
sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka
menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
“Katakanlah,"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya,
jika kamu mengetahui? “Mereka akan menjawab,“kepunyan Allah”.
Katakanlah,“siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya Arsy yang
besar?” mereka menjawab, “kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak
bertakwa? “Katakanlah, “Siapakah yang di tanganNya berada kekusaan atas segala
sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)Nya, jika kamu mengetahui?” mereka akan menjawab,“kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(kalau
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al-Mu’minun:
84-89).
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka,“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka
menjawab,“Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS. Az-Zukhruf :
9).
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka,“siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab,“Allah”,
maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf :
87).
Perintah Allah SWT
mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah
pengatur alam, pemutus seluruh perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia
juga penentu peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai
dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa yang menjadikan penentu
aturan-aturan ibadah selain Allah dan penentu aturan-aturan mu`amalat selain
Allah berarti ia telah menyekutukan Allah serta tidak beriman kepada-Nya.
Beriman kepada Uluhiyah Allah SWT
Beriman kepada Uluhiyah Allah maksudnya:
benar-benar mengimani bahwa Dialah Ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada
sekutu bagi-Nya.
AlIlah artinya “al ma’luh”, yakni
sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan. Sebagaimana
Firman Allah SWT: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak diibadahi) melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
( QS. Al Baqarah: 163).
“Allah menyatakan bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan, para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” ( QS. Al-Imran :18).
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah,
Uluhiyahnya adalah batil. “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang
mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah yang Maha tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Hajj: 62).
Allah SWT berfirman
tentang laata, uzza, dan manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak berhak
untuk dikatakan sebagai Ilah: “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu
dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun untuk (menyembah)nya…” (QS. An Najm : 23).
Allah SWT juga berfirman tentang Nabi Yusuf
`Alaihissalam yang berkata kepada dua temannya di penjara: “Hai kedua
temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain
Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu…” (QS. Yusuf : 39- 40).
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimussalam
berkata kepada kaum-kaumnya:“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun: 32).
Orang-orang musyrik tetap saja
mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil Tuhan selain Allah SWT. Mereka
menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dan
menyekutukan Allah.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan
orang-orang musyrik ini telah dibantah oleh Allah dengan dua dalil:
Pertama, Tuhan-tuhan
yang diambil itu tidak mempunyai sifat-sifat uluhiyah sedikitpun, karena mereka
adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat mendatangkan manfaat,
tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki
sebagian kecilpun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain
daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun,
bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu
kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu manfaatpun
dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (
QS. Al-Furqan: 3).
“Katakanlah ,
“Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali
tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya, dan tiadalah berguna
syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh
syafaat…”
(QS. Saba’: 22-23).
“Apakah mereka
mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan
sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak
dapat memberi pertolongan.” ( QS. Al-A’raf : 191-192).
Kalau demikian
keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat bodoh dan sangat keliru bila
menjadikan mereka sebagai tuhan (Ilah).
Kedua, Sebenarnya
orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb,
Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui
bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat memberi perlindungan
selain-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka
mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah.
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 21-22).
“Dan sungguh jika
kamu bertanya kepada mereka , “Siapakah yang menciptakan mereka? “ niscaya
mereka menjawab , “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?”
(QS. Az-Zukhruf : 87).
“Katakanlah,“siapakah
yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka
katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?” maka (Dzat yang
demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran
itu, malainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 31-32).
Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah SWT
Iman kepada Asma’ (nama-nama) dan
sifat-sifat Allah SWT , yakni : menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah
ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya
dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan
makana), ta’thil (menafikan makna), takyif (menanyakan
bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
“Allah mempunyai Asmaaul
husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (
QS. Al-A’raf : 180).
“Allah mempunyai sifat
yang Maha tinggi; Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nahl: 60).
“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS. Asy-syura:
11).
Dalam masalah Asma’ dan sifat ada dua
golongan yang tersesat, yaitu:
Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang
mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari
sebagiannya. Menurut dugaan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah
dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah SWT dengan
makhluk-Nya.
Pendapat
ini jelas keliru karena:
a.
Dugaan
di atas akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah I telah menetapkan untuk diri-Nya
nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa
dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan
adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah, yakni sebagian
firman-Nya betolak belakang dengan
sebagian yang lain.
b.
Adanya
persamaan nama atau sifat dari dua zat berbeda tidak mengharuskan persamaan
keduanya dari segala sisi. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia,
sama-sama mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam
makna-makna kemanusiaannya, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraannya. Anda
juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi
persamaan itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama persis.
Apabila antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja
memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk
(yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk. Mereka mengira hal ini sesuai
dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya
dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini
jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a. Menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syara’.
Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul
menunjukkan pengertian yang batil.
b. Allah SWT berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami
maknanya. Adapun hakikat makna yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah
hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah
menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha
Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu
menangkap suara-suara. Tetapi hakikat hal itu, bila dinisbatkan kepada
pendengaran Allah tidak diketahui, karena hakikat pendengaran sangat berbeda,
walau pada makluk-makhluk sekalipun. Tentulah perbedaan hakikat
sifat pencipta dan yang diciptakan lebih jauh berbeda.
Apabila Allah SWT memberitakan tentang
diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arasy-Nya, maka kata
"bersemayam" dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat
bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui. Karena bersemayamnya para
makhluk, satu dengan lainnya sangat berbeda, seperti contoh; bersemayam di atas
kursi berbeda dengan bersemayam di atas hewan tunggangan, bila bersemayamnya
seorang makhluk saja berbeda apatah lagi bersemayamnya sang khalik dengan
bersemayamnya para makhluk, tentu lebih jauh berbeda lagi.
3. Hubungan Antara Iman dan
Amal Shaleh
Di dalam Al-Quran dan hadits
shahih sering kali Allah SWT menggandengkan iman
dengan amal shalih. Dalam iman itu Sebenarnya telah
tercangkup amal. Hal itu bertujuan untuk penekanan, agar orang tidak menyangka
bahwa iman itu cukup dengan hati saja. Karena ada sebagian orang ada yang
menyangka bahwa iman itu cukup di dalam hati saja, dan ini merupakan pemahaman keliru.
Allah SWT mengingatkan akan hal ini di didalm Al
Quran sebagaimana firman-Nya. Di: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 277)
Amal shalih
adalah termasuk dari iman dan termasuk konsekuensi keimanan.
Dengan amal shalih inilah akan terwujud keimanan. Maka barangsiapa yang mengaku
sebagai seorang muslim namun tidak mengamalkan apa-apa yang telah Allah
perintahkan, maka ia bukanlah seorang muslim yang sejati, imannya pun tidak
sempurna.
Iman dan amal saleh berkaitan erat
antara satu dengan yang lainnya. Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping uang
logam. Seorang muslim yang beriman tanpa beramal, maka imannya patut
dipertanyakan. Karena iman tanpa amal adalah iman yang tipis atau tidak ada
sama sekali. Oleh karena itulah Allah Swt. mengatakan “kecuali orang
yang beriman dan beramal saleh.” (QS. al-Ashr: 3) yang menunjukkan
keduanya saling terkait.
Sulaiman
al-Asyqar menjelaskan bahwa iman adalah dasar amal saleh, dan iman merupakan
amal saleh yang paling utama[1].
Pustaka Maghfirah)
Hadits berikutnya berbunyi, “Cabang
dari iman itu ada 73. yang paling utama adalah ucapan La ilahailallah, dan yang
paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan rasa malu
adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)
Sulaiman
al-Asyqar menjelaskan tentang hadits ini bahwa, amal saleh adalah sebagian dari
iman. Jika demikian, semakin banyak beramal saleh, maka iman seorang muslim
semakin kuat. Sementara orang-orang yang lemah imannya akan sangat sedikit
beramal saleh. Dengan kata lain, sedikitnya amal saleh yang dikerjakan
mengindikasikan iman seseorang sangat rendah. Jika ada yang bertanya, “Bukankah
ada orang kafir yang banyak beramal?” Ya, tapi amal mereka bukanlah amal saleh.
Karena yang disebut amal saleh itu adalah amal yang diniatkan dengan ikhlas dan
sesuai dengan syariat. Oleh karena itu, amal mereka tertolak dan mereka tidak
mendapat pahala sedikitpun di akhirat nanti.
Iman dan amal shaleh adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, bahkan dalam Alquran pun Allah sangat sering menggandengkan kata
amal dengan kata amal shaleh, itu berarti ada korelasi yang begitu mengikat
kuat di antara keduanya.
Hubungan iman dengan amal
Sebagaimana disebutkan di atas, iman merupakan suatu
kecenderungan hati yang sangat kuat untuk mempercayai sesuatu. Hal ini menuntut
suatu komitmen atas konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan
perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengetahui
hakikat sesuatu, namun tidak bermaksud untuk mengamalkan konsekuensi dari
pengetahuan itu, berarti pada dasarnya dia belum beriman dengan sesuatu itu,
begitu juga orang yang ragu untuk mengamalkan konsekuensi-konsekuensi tersebut.
Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak
setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi
praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa nafsu dan nafsu
ammarahnya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya
senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi tersebuut.
Tentunya semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya
untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya,
iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi konsekuensinya. Dan, kadar
pengaruh iman tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan
kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.
Hubungan amal dengan iman
Adakalanya usaha bebas itu baik dan sesuai dengan
keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha
baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati.
Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh
karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar
keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan
mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk
melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman, “Kepada-Nyalah
kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal shaleh itu mengangkatnya” (QS
Fathir : 10)
Di tempat lain Alquran juga menekankan bahwa orang-orang
yang shaleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam
jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya
bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara
yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membendung dorongan buruk
tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk
melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya.
Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri
seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya,
sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan
kehinaan yang lebih mendalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan
berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan.
Pada ayat-ayat berikut ini Alquran menceritakan orang-orang
yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan.
“Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka
sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkariapa
yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta”
(QS At-Taubah : 77)
“Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan
kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah
mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya” (QS
Ar-Rum : 10)
Jadi, dengan memperhatikan adanya hubungan timbal balik
antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih tujuan hidup seseorang
dapat dikatakan bahwa iman merupakan faktor utama yang menentukan
benar-tidaknya jalan hidup yang ditempuh oleh seseorang. Hanya saja, sempurnanya
pengaruh positif faktor ini amat bergantung kepada amal-amal shaleh dan
menjaganya dari gangguan-gangguan dosa dengan menjauhi maksiat. Demikian pula,
meninggalkan apa yang diperintahkan dan melakukan apa yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya akan melemahkan serta mengurangi kadar keimanan seseorang bahkan
mampu memupuskannya. Atau, percaya akan akidah-akidah sesat dan mazhab-mazhab
yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.
Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa benar adanya jika
para salafus shalih menyimpulkan kriteria diterimanya suatu amal berdasarkan
pada istiqra’ (penelitian) dari Alquran dan Sunnah. Kriteria
tersebut adalah :khlas, Mengikuti Sunnah Rasulullah
SAW. Kedua kriteria tersebut didukung oleh
beberapa nash, di antaranya : Al quran surah Al Baqarah ayat 4
yang artinya “Tidaklah
mereka diperintahkan kecuali supaya beribdah kepada Allah dengan semurni-murni
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” kemudian Hadits riwayat Bukhari dan Muslim: “Sungguh hanyasanya setiap
amalan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang akan mendapatkan
balasan sesuai dengan yang telah ia niatkan” dan Hadits riwayat An Nasa’i dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani artinya: Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu
amalan kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajah-Nya
(ridha-Nya).
4. Implikasi Iman Dalam
Kehidupan
Orang yang beriman tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah
saja, Karena pengertian iman sesungguhnya adalah meliputi aspek kalbu, ucapan
dan perilaku, maka Iman dapat berimplikasi dalam kehidupannya yang beriman dapat diketahui antara lain.
Tawakal.
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, kalbunya akan terangsang untuk
melaksanakannya seperti dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Anfaal (8): 2 Artinya: Sesungguhnya orang-orang
yang beriman adalah apabila disebut (nama) Alloh, gemetarlah hati mereka, dan
apabi;a dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan mereka
bertawakal kepada Tuhannya.
Tawakal
yaitu senantiasa hanya mengabdi (hidup) menurut apa yang
diperintahkan oleh Alloh. Dengan kata lain, orang yang bertawakal adalah orang
yang menyandarkan berbagai aktivitasnya atas perintah Alloh. Seorang mukmin
apabila dia makan bukan didorong oleh perutnya yang lapar, akan tetapi karena
sadar akan perintah Alloh. QS. Al Baqarah (2) : 172 Artinya: Hai sekalian orang-orang yang
beriman, makanlah dari apa yang baik-baik yang Kami rezekikan kepada kamu dan
bersyukurlah kepada Alloh jika hanya kepada-Nya kamu menyembah. Seseorang yang makan dan minum karena didorong oleh perasaan
lapar atau haus, maka mukminnya adalah mukmin yang batil, karena perasaanlah
yang menjadi penggeraknya. Dalam konteks Islam, bila makan pada hakikatnya
melaksanakan perintah Alloh supaya fisiknya kuat untuk beribadah (dalam arti
luas) kepada-Nya.
Mawas
Diri dan Bersikap Ilmiah
Pengertian mawas diri disini dimaksudkan agar seseorang tidak
terpengaruh oleh berbagai kasus dari manapun datangnya, baik dari kalangan jin
dan manusia, bahkan mungkin juga datang dari dirinya sendiri. QS. An-Naas
(114):1-3 Artinya: Katakanlah "Aku berlindung
kepada Tuhan yang memelihara manusia (1) Yang menguasai manusia (2) Tuhan bagi
manusia(3). Mawas diri berhubungan dengan alam pikiran,
yaitu bersikap kritis dalam menerima informasi, terutama dalam memahami
nilai-nilai dasar keislaman. Hal ini diperlukan agar kita terhindar dari
berbagai fitnah. QS. Ali Imran (3) : 7 Artinya: Dialah yang menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu, diantaranya ada
ayat-ayat yang muhamat (terang maknanya), itulah ibu (pokok) Kitab; dan yang
lain mutasabihat (tidak terang maknanya). Maka adapun orang-orang yang hatinya
cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasabihat
untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya kecuali Alloh. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata "Kami beriman dengannya (kepada
ayat-ayat mutasabihat); semuanya itu dari sisi tuhan kami". dan tidak
dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang mempunyai pikiran.
Atas dasar pemikiran tersebut hendaknya seorang tidak dibenarkan
menyatakan sesuatu sikap, sebelum mengetahui terlebih dahulu permasalahannya,
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran antara lain QS. Al-Israa' (17) : 36 Artinya: Dan janganlah engkau turut
apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya.
Optimis
Dalam Menghadapi Maa Depan
Perjalanan hidup manusia tidak seluruhnya mulus, akan tetapi
kadang-kadang mengalami berbagai rintangan dan tantangan yang memerlukan
pemecahan dan jalan keluar. ajika suatu tantangan atau permasalahan tidak dapat
diselesaikan segera, tantangan tersebut akan semakin menumpuk. Jika seseorang
tidak dapat menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan, maka seseorang
tersebut dihinggapi penyakit psikis, yang lazim disebut dengan penyakit
kejiwaan, antara lain frustasi, nervous, depresi dan sebagainya. Al-Quran
memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk selalu bersikap optimis karena
pada hakikatnya tantangan merupaka pelajaran bagi setiap manusia. Hal tersebut
dinyatakan dalam surat Al-Insiyirah (94) : 5-6. jika seorang telah merasa
melaksanakan sesuatu perbuatan dengan penuh perhitungan, tidaklah perlu
memikirkan bagaimana hasilnya nanti, karena hasil adalah akibat dari sesuatu
perbuatan. Namun Nabi Muhammad mnyatakan bahwa orang yang hidupnya hari ini
lebih jelek dari hari kemarin, dia sesuangguhnya adalah orang yang merugi, dan
apabila hidupnya sama dengan hari kemarin berarti tertipu, dan yang bahagia
adalah orang yang hidupnya hari ini lebih baik daripada hari kemarin.
Jika optimisme merupakan suatu sikap yang terpuji, maka sebaliknya
pesimisme merupakan sikap yang tercela. Sikap ini seharusnya tidak tercermin
pada diri seorang mukmin. Hal ini seperti dinyatakan dalam surat Yusuf (12) :
87, sedangkan sikap putus asa atau yang searti dengan kata tersebut hanyalah
dimiliki oleh orang-orang kafir. Firman Allah yang Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu,
maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Alloh
melainkan kaum yang kafir. QS. Yusuf (12) : 87
5. Rukun Iman
Rukun Iman yaitu pilar keimanan dalam Islam yang
harus dimiliki seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini
didasarkan dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Jibril yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari danShahih Muslim yang
diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Enam rukun Iman tersebut iantaranya adalah:
Iman
kepada Allah :
Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 hal:
Mengimaniadanya Allah. Mengimani rububiah Allah,
bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali
Allah. Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang
berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah
Ta’ala. Mengimani semua nama dan sifat Allah (al-Asma'ul Husna) yang Allah telah
tetapkan untuk diri-Nya dan yang nabi-Nya tetapkan untuk Allah, serta menjauhi
sikap menghilangkan makna, memalingkan makna, mempertanyakan, dan
menyerupakanNya.
Iman
kepada para malaikat Allah: Mengimani adanya, setiap amalan dan tugas yang
diberikan Allah kepada mereka.
Iman
kepada kitab-kitab Allah: Mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah ucapan-Nya
dan bukanlah ciptaanNya. karena kalam (ucapan) merupakan sifat Allah dan sifat
Allah bukanlah makhluk. Muslim wajib mengimani bahwa Al-Qur`an merupakan
penggenapan kitab suci terdahulu.
Iman
kepada para rasul Allah: Mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan
manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para
makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama
sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah
para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata. Wajib mengimani bahwa semua
wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala.
Juga wajib mengakui setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya dan yang
tidak kita ketahui namanya.
Iman
kepada hari akhir:
Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh (di antara dunia dan akhirat)
berupa fitnah kubur (nikmat kubur atau siksa kubur). Mengimani tanda-tanda hari
kiamat. Mengimani hari kebangkitan di padang mahsyar hingga berakhir di Surga
atau Neraka.
Iman
kepada qada dan qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk:Mengimani kejadian
yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Karena
seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat dan sifat mereka begitupula perbuatan
mereka adalah ciptaan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar