Jumat, 09 September 2016

Makna Iman Serta Pengaruhnya dalam Kehidupan

Pengertian Iman
Pengertian secara etimologis pengertian iman berasal dari bahasa Arab yaitu iman  yang berarti "percaya". Perkataan iman diambil dari kata kerja aamana-yukminu yang berarti "percaya" atau "membenarkan". Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang. Ini adalah definisi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, madzhab Zhahiriyah dan segenap ulama selainnya.[1] Dengan demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan, dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang
Dalam Firman Allah QS. Al Fath [48] : 4 berbunyi “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.”
Imam Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.[2] Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.[3]
Allah  SWT telah menjelaskan pengertian orang yang beriman seperti dalam surat Al-Baqoroh ayat 3 yang artinya: Orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Isi kandungan ayat di atas adalah sebagai berikut: 1) Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. 2) Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh panca indera. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. 3) Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. 4) Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
Sedangkan pengertian iman menurut hadits Rasulullah Saw adalah sebagai berikut: Artinya: “Dari Ibnu Hajar Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Iman adalah Pengetahuan hati, pengucapan lisan dan pengamalan dengan anggota badan” (H.R. Ibnu Majah dan At-Tabrani).

Isi kandungan hadits di atas menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membentuk keimanan seseorang itu ada 3, yaitu: Pengetahuan hati, pengucapan lisan dan pengamalan dengan anggota badan.
Pengetahuan Hati
Berbicara tentang iman, tentu berbicara tentang keyakinan. Maka secara mutlak orientasi pembahasan di titik beratkan pada jiwa seseorang atau lazimnya di sebut “qalbu”. Hati merupakan pusat dari satu keyakinan, kita semua sepakat bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok kejadian, terbentuknya jazad dan rohani, apabila keduanya pincang atau salah satu di antaranya kurang, maka secara mutlak tidak mungkin terbentuk makhluk yang bernama manusia. Orang yang beriman hatinya harus ma’rifat kepada Allah, mengetahui siapakah Allah itu, karena tanpa mengenal Allah mustahil seseorang akan beriman kepada Allah.
Pengucapan Lisan
Setelah mengenal Allah dan meyakini dengan sepenuh hati, seorang mukmin diwajibkan mengakui dan mengikrarkan dengan lisan, yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadah .
Pengamalan dengan anggota badan
Amal merupakan unsur dari iman. Seperti perkataan Imam Ibnu Abdil Barr:: “Para ahli fiqih dan hadis telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat”. Al-Imaam Ibnul-Qayyim al-Jauziy juga berkata berkata : “Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i‘tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat ). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tasdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya”. Al-Imam Malik, al-Syafi’i, Ahmad, al-Auza‘i, Ishaq ibn Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadis serta ulama Madinah demikian juga para pengikut mazhab Zahiriyyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.

2. Prinsip-Prinsip Keimanan Dalam Islam
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah dijelaskankan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya
Allah berfirman dalam kitab sucinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, para Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).
Dalam masalah takdir, Allah berfirman:  “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ukuran), dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 49-50).
Nabi SAW bersabda disaat menjawab pertanyaan Malaikat jibril tentang iman :“Iman adalah: engkau beriman kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab, para Rasul-Nya, hari kemudian, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”(HR. Musli ).
Iman kepada Allah mencakup empat hal: Beriman kepada keberadaan Allah, Beriman kepada Rububiyah Allah, Beriman kepada Uluhiyah Allah dan Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah, Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

Beriman kepada keberadaan Allah
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a.    Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Dan kenyataan ini diakui oleh setiap orang yang memiliki fitrah yang benar  yang di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu yang memalingkannya dari fitrah ini Rasulullah SAW bersabda: “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari).
b.    Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses penciptaan semua makhluk, bahwa semua makhluk pasti ada yang menciptakan. Karena tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, karena makhluk sebelum diciptakan tentulah ia tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada, mustahil mampu menciptakan sesuatu. Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan- aturan yang harmonis, tersusun rapi, dan adanya hubungan yang erat antara sebab dan musabab, antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur, maka bagaimana mungkin kemudian dia menjadi teratur dan tetap bertahan teratur tanpa ada faktor lain. Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam. Allah SWT menyebutkan dalil aqli (akal) yang qath’i dalam surat Ath- thur: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” ( QS. Ath-thur: 35). Dari tersebut  jelaslah bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah SWT. Ketika Jubair bin Muth’im mendengar Rasulullah SAW yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat ini: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekalah yang berkuasa?”( QS. At-Thur: 35-37). Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “jiwaku hampir saja melayang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Bukhari). Dalam hal ini Kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang bercerita kepada anda tentang istana yang megah, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan permadani, dan dihiasi dengan berbagai jenis hiasan utama dan pelengkap, lalu orang itu mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala kesempurnaanya ini ada dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Jika demikian halnya, apakah mungkin alam semesta yang luas ini beserta isinya; bumi, langit dan galaxy-galaxy dengan sistem yang sangat rapi dan elok tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan
c.    Dalil syara’ tentang wujud Allah I bahwa seluruh kitab samawi (yang diturunkan dari langit) berbicara tentang hal ini. Seluruh hukum syara` yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang dijelaskan di dalam kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan-Nya.
d.    Dalil logika tentang wujud Allah I dapat dibagi menjadi dua: Pertama, kita mendengar dan menyaksikan terkabulnya do’a orang-orang yang berdo’a serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah sebagaimana Firman Allah SWT:   “Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo’a, dan Kami memperkenankan do’anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” ( QS. Al-Anbiya: 76). Dan Juga Firman Allah SWT : “Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu …”(QS. Al-Anfal: 9). Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari jum’at. Pada waktu itu Nabi SAW sedang berkhutbah. Lelaki itu berkata , “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah binasa, seluruh warga ditimpa kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah I untuk mengatasi kesulitan kami. “Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdo’a. tiba-tiba awan datang bergulung-gulung bagaikan gunung-gunung. Sebelum Rasulullah turun dari mimbar, hujan terlebih dahulu turun dan membasahi jenggot beliau. Pada hari jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, ‘Hai Rasulullah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, berdoalah kepada Allah (agar kami selamat).’ Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdo’Allah, “Ya Rabbi, turunkanlah hujan di sekeliling negeri kami, dan jangan Engkau turunkan di negeri kami.” Akhirnya setiap tempat yang beliau tunjuk dengan tangannya menjadi terang  (tanpa hujan).” (HR. Bukhari). Hingga di masa kita sekarang ini, kita menyaksikan dan mendengar terkabulnya do`a orang –orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah SWT. Kedua, Tanda-tanda kebenaran para Nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah SWT, karena hal-hal itu terjadi di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai bukti penguat kebenaran, dan menolong  para Rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as. untuk memukul tongkatnya ke laut, Musa memukulnya, lalu laut terbelah menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman: “Lalu Kami mewahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” ( QS. Asy-Syuara’: 63). Contoh kedua: mukjizat Nabi Isa as. yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah. “…dan aku dapat menghidupkan orang mati dengan seizin Allah…” (QS. Al-Imran: 49). “…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan izin-Ku..” ( QS. Al-Maidah: 110). Contoh ketiga: mukjizat Nabi Muhammad SAW ketika kaum Quraisy meminta bukti kenabiannya. Beliau mengacungkan tangannya menunjuk ke arah bulan, disaat itu juga bulan terbelah menjadi dua, dan kejadian ini disaksikan oleh orang banyak.  Sebagaimana firman Alla SWT: “Telah dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata , “(ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (QS. Al-Qomar: 1-2). Mukjizat-mukjizat tersebut yang diciptakan Allah SWT untuk membuktikan kebenaran seorang nabi, yang dapat dirasakan oleh indera manusia menjadi bukti keniscayaan wujud dan keberadaan Allah SWT.

Beriman kepada Rububiyah Allah SWT
Beriman kepada Rububiyah Allah maksudnya: beriman sepenuhnya bahwa Dialah satu-satunya Pengatur alam semesta, tiada sekutu dan tiada penolong selain Dia.
Rabb adalah Zat yang menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah-Nya. Sebagaimana firmannya“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf: 54). Difirmankan Juga "…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13).
Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah SWT, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir`aun ketika berkata kepada kaumnya: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” ( QS. An-Naziat: 24) Dan juga ketika berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS. Al-Qashash: 38)
Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
“Katakanlah,"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? “Mereka akan menjawab,“kepunyan Allah”. Katakanlah,“siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya Arsy yang besar?” mereka menjawab, “kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa? “Katakanlah, “Siapakah yang di tanganNya berada kekusaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?” mereka akan menjawab,“kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (QS. Al-Mu’minun: 84-89).
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab,“Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS. Az-Zukhruf : 9).
 “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,“siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab,“Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).
Perintah Allah SWT mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, pemutus seluruh perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga penentu peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa yang menjadikan penentu aturan-aturan ibadah selain Allah dan penentu aturan-aturan mu`amalat selain Allah berarti ia telah menyekutukan Allah serta tidak beriman kepada-Nya.

Beriman kepada Uluhiyah Allah SWT
Beriman kepada Uluhiyah Allah maksudnya: benar-benar mengimani bahwa Dialah Ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
AlIlah artinya “al ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Baqarah: 163).
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan, para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” ( QS. Al-Imran :18).
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, Uluhiyahnya adalah batil. “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Hajj: 62).
Allah SWT berfirman tentang laata, uzza, dan manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak berhak untuk dikatakan sebagai Ilah: “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya…” (QS. An Najm : 23).
Allah SWT juga berfirman tentang Nabi Yusuf `Alaihissalam yang berkata kepada dua temannya di penjara: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu…” (QS. Yusuf : 39- 40).
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimussalam berkata kepada kaum-kaumnya:“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al-Mu’minun: 32).
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil Tuhan selain Allah SWT. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dan menyekutukan Allah.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibantah oleh Allah dengan dua dalil:
Pertama, Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai sifat-sifat uluhiyah sedikitpun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat mendatangkan manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sebagian kecilpun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.
 “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu manfaatpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” ( QS. Al-Furqan: 3).
“Katakanlah , “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya, dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat…” (QS. Saba’: 22-23).
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” ( QS. Al-A’raf : 191-192).
Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat bodoh dan sangat keliru bila menjadikan mereka sebagai tuhan (Ilah).
Kedua, Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat memberi perlindungan selain-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah.
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu  mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22).
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka , “Siapakah yang menciptakan mereka? “ niscaya mereka menjawab , “Allah”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf : 87).
“Katakanlah,“siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?” maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, malainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 31-32).

Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah SWT
Iman kepada Asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah SWT , yakni : menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan makana), ta’thil (menafikan makna), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil (menyerupakan).
“Allah mempunyai Asmaaul husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS. Al-A’raf : 180).
 “Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi; Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nahl: 60).
 “… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS. Asy-syura: 11).
Dalam masalah Asma’ dan sifat ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya. Menurut dugaan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya.
Pendapat ini jelas keliru karena:
a.    Dugaan di atas akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah I telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah, yakni sebagian firman-Nya betolak belakang dengan  sebagian yang lain.
b.    Adanya persamaan nama atau sifat dari dua zat berbeda tidak mengharuskan persamaan keduanya dari segala sisi. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, sama-sama mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi persamaan itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama persis. Apabila antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah  dengan makhluk. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :
a.    Menyerupakan Allah  dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian  yang batil.
b.    Allah SWT berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami maknanya. Adapun hakikat makna yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan  untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menangkap suara-suara. Tetapi hakikat hal itu, bila dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak diketahui, karena hakikat pendengaran sangat berbeda, walau pada makluk-makhluk sekalipun. Tentulah perbedaan hakikat sifat pencipta dan yang diciptakan lebih jauh berbeda.
Apabila Allah SWT memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arasy-Nya, maka kata "bersemayam" dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui. Karena bersemayamnya para makhluk, satu dengan lainnya sangat berbeda, seperti contoh; bersemayam di atas kursi berbeda dengan bersemayam di atas hewan tunggangan, bila bersemayamnya seorang makhluk saja berbeda apatah lagi bersemayamnya sang khalik dengan bersemayamnya para makhluk, tentu lebih jauh berbeda lagi.   

3. Hubungan Antara Iman dan Amal Shaleh
Di dalam Al-Quran dan hadits shahih sering kali Allah SWT menggandengkan iman dengan amal shalih. Dalam iman itu Sebenarnya telah tercangkup amal. Hal itu bertujuan untuk penekanan, agar orang tidak menyangka bahwa iman itu cukup dengan hati saja. Karena ada sebagian orang ada yang menyangka bahwa iman itu cukup di dalam hati saja, dan ini merupakan pemahaman keliru.
Allah SWT mengingatkan akan hal ini di didalm Al Quran sebagaimana  firman-Nya. Di: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 277)
Amal shalih adalah termasuk dari iman dan termasuk konsekuensi keimanan. Dengan amal shalih inilah akan terwujud keimanan. Maka barangsiapa yang mengaku sebagai seorang muslim namun tidak mengamalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan, maka ia bukanlah seorang muslim yang sejati, imannya pun tidak sempurna.
Iman dan amal saleh berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping uang logam. Seorang muslim yang beriman tanpa beramal, maka imannya patut dipertanyakan. Karena iman tanpa amal adalah iman yang tipis atau tidak ada sama sekali. Oleh karena itulah Allah Swt. mengatakan “kecuali orang yang beriman dan beramal saleh.” (QS. al-Ashr: 3) yang menunjukkan keduanya saling terkait.
Sulaiman al-Asyqar menjelaskan bahwa iman adalah dasar amal saleh, dan iman merupakan amal saleh yang paling utama[1]. Pustaka Maghfirah)
Hadits berikutnya berbunyi, “Cabang dari iman itu ada 73. yang paling utama adalah ucapan La ilahailallah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)
Sulaiman al-Asyqar menjelaskan tentang hadits ini bahwa, amal saleh adalah sebagian dari iman. Jika demikian, semakin banyak beramal saleh, maka iman seorang muslim semakin kuat. Sementara orang-orang yang lemah imannya akan sangat sedikit beramal saleh. Dengan kata lain, sedikitnya amal saleh yang dikerjakan mengindikasikan iman seseorang sangat rendah. Jika ada yang bertanya, “Bukankah ada orang kafir yang banyak beramal?” Ya, tapi amal mereka bukanlah amal saleh. Karena yang disebut amal saleh itu adalah amal yang diniatkan dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat. Oleh karena itu, amal mereka tertolak dan mereka tidak mendapat pahala sedikitpun di akhirat nanti.
Iman dan amal shaleh adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, bahkan dalam Alquran pun Allah sangat sering menggandengkan kata amal dengan kata amal shaleh, itu berarti ada korelasi yang begitu mengikat kuat di antara keduanya.

Hubungan iman dengan amal
Sebagaimana disebutkan di atas, iman merupakan suatu kecenderungan hati yang sangat kuat untuk mempercayai sesuatu. Hal ini menuntut suatu komitmen atas konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun tidak bermaksud untuk mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, berarti pada dasarnya dia belum beriman dengan sesuatu itu, begitu juga orang yang ragu untuk mengamalkan konsekuensi-konsekuensi tersebut.
Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa nafsu dan nafsu ammarahnya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi tersebuut. Tentunya semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi konsekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.

Hubungan amal dengan iman
Adakalanya usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman, “Kepada-Nyalah kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal shaleh itu mengangkatnya” (QS Fathir : 10)
Di tempat lain Alquran juga menekankan bahwa orang-orang yang shaleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membendung dorongan buruk tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya.
Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya, sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan kehinaan yang lebih mendalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan.
Pada ayat-ayat berikut ini Alquran menceritakan orang-orang yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan.
Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkariapa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta” (QS At-Taubah : 77)
Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya” (QS Ar-Rum : 10)
Jadi, dengan memperhatikan adanya hubungan timbal balik antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih tujuan hidup seseorang dapat dikatakan bahwa iman merupakan faktor utama yang menentukan benar-tidaknya jalan hidup yang ditempuh oleh seseorang. Hanya saja, sempurnanya pengaruh positif faktor ini amat bergantung kepada amal-amal shaleh dan menjaganya dari gangguan-gangguan dosa dengan menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan apa yang diperintahkan dan melakukan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya akan melemahkan serta mengurangi kadar keimanan seseorang bahkan mampu memupuskannya. Atau, percaya akan akidah-akidah sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.
Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa benar adanya jika para salafus shalih menyimpulkan kriteria diterimanya suatu amal berdasarkan pada istiqra’ (penelitian) dari Alquran dan Sunnah. Kriteria tersebut adalah :khlas,   Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Kedua kriteria tersebut didukung oleh beberapa nash, di antaranya :  Al quran surah Al Baqarah ayat 4 yang artinya Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribdah kepada Allah dengan semurni-murni ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus kemudian  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim:  Sungguh hanyasanya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan yang telah ia niatkan dan Hadits riwayat An Nasa’i dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani artinya: Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajah-Nya (ridha-Nya).

4. Implikasi Iman Dalam Kehidupan
Orang yang beriman tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah saja, Karena pengertian iman sesungguhnya adalah meliputi aspek kalbu, ucapan dan perilaku, maka Iman dapat berimplikasi dalam kehidupannya  yang beriman dapat diketahui antara lain.

Tawakal.
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, kalbunya akan terangsang untuk melaksanakannya seperti dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Anfaal (8): 2 Artinya:  Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila disebut (nama) Alloh, gemetarlah hati mereka, dan apabi;a dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan mereka bertawakal kepada Tuhannya.
Tawakal 

yaitu senantiasa hanya mengabdi (hidup) menurut apa yang diperintahkan oleh Alloh. Dengan kata lain, orang yang bertawakal adalah orang yang menyandarkan berbagai aktivitasnya atas perintah Alloh. Seorang mukmin apabila dia makan bukan didorong oleh perutnya yang lapar, akan tetapi karena sadar akan perintah Alloh. QS. Al Baqarah (2) : 172 Artinya: Hai sekalian orang-orang yang beriman, makanlah dari apa yang baik-baik yang Kami rezekikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Alloh jika hanya kepada-Nya kamu menyembah. Seseorang yang makan dan minum karena didorong oleh perasaan lapar atau haus, maka mukminnya adalah mukmin yang batil, karena perasaanlah yang menjadi penggeraknya. Dalam konteks Islam, bila makan pada hakikatnya melaksanakan perintah Alloh supaya fisiknya kuat untuk beribadah (dalam arti luas) kepada-Nya.

Mawas Diri dan Bersikap Ilmiah
Pengertian mawas diri disini dimaksudkan agar seseorang tidak terpengaruh oleh berbagai kasus dari manapun datangnya, baik dari kalangan jin dan manusia, bahkan mungkin juga datang dari dirinya sendiri. QS. An-Naas (114):1-3  Artinya: Katakanlah "Aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara manusia (1) Yang menguasai manusia (2) Tuhan bagi manusia(3). Mawas diri berhubungan dengan alam pikiran, yaitu bersikap kritis dalam menerima informasi, terutama dalam memahami nilai-nilai dasar keislaman. Hal ini diperlukan agar kita terhindar dari berbagai fitnah. QS. Ali Imran (3) : 7  Artinya: Dialah yang menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat yang muhamat (terang maknanya), itulah ibu (pokok) Kitab; dan yang lain mutasabihat (tidak terang maknanya). Maka adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya kecuali Alloh. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata "Kami beriman dengannya (kepada ayat-ayat mutasabihat); semuanya itu dari sisi tuhan kami". dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang mempunyai pikiran.
Atas dasar pemikiran tersebut hendaknya seorang tidak dibenarkan menyatakan sesuatu sikap, sebelum mengetahui terlebih dahulu permasalahannya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran antara lain QS. Al-Israa' (17) : 36 Artinya: Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya.

Optimis Dalam Menghadapi Maa Depan
Perjalanan hidup manusia tidak seluruhnya mulus, akan tetapi kadang-kadang mengalami berbagai rintangan dan tantangan yang memerlukan pemecahan dan jalan keluar. ajika suatu tantangan atau permasalahan tidak dapat diselesaikan segera, tantangan tersebut akan semakin menumpuk. Jika seseorang tidak dapat menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan, maka seseorang tersebut dihinggapi penyakit psikis, yang lazim disebut dengan penyakit kejiwaan, antara lain frustasi, nervous, depresi dan sebagainya. Al-Quran memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk selalu bersikap optimis karena pada hakikatnya tantangan merupaka pelajaran bagi setiap manusia. Hal tersebut dinyatakan dalam surat Al-Insiyirah (94) : 5-6. jika seorang telah merasa melaksanakan sesuatu perbuatan dengan penuh perhitungan, tidaklah perlu memikirkan bagaimana hasilnya nanti, karena hasil adalah akibat dari sesuatu perbuatan. Namun Nabi Muhammad mnyatakan bahwa orang yang hidupnya hari ini lebih jelek dari hari kemarin, dia sesuangguhnya adalah orang yang merugi, dan apabila hidupnya sama dengan hari kemarin berarti tertipu, dan yang bahagia adalah orang yang hidupnya hari ini lebih baik daripada hari kemarin.
Jika optimisme merupakan suatu sikap yang terpuji, maka sebaliknya pesimisme merupakan sikap yang tercela. Sikap ini seharusnya tidak tercermin pada diri seorang mukmin. Hal ini seperti dinyatakan dalam surat Yusuf (12) : 87, sedangkan sikap putus asa atau yang searti dengan kata tersebut hanyalah dimiliki oleh orang-orang kafir. Firman Allah yang Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Alloh melainkan kaum yang kafir. QS. Yusuf (12) : 87

5. Rukun Iman
Rukun Iman yaitu pilar keimanan dalam Islam yang harus dimiliki seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini didasarkan dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Jibril yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari danShahih Muslim yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Enam rukun Iman tersebut iantaranya adalah:
Iman kepada Allah : Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 hal: Mengimaniadanya Allah. Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah. Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah Ta’ala. Mengimani semua nama dan sifat Allah (al-Asma'ul Husna) yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang nabi-Nya tetapkan untuk Allah, serta menjauhi sikap menghilangkan makna, memalingkan makna, mempertanyakan, dan menyerupakanNya.
Iman kepada para malaikat Allah: Mengimani adanya, setiap amalan dan tugas yang diberikan Allah kepada mereka.
Iman kepada kitab-kitab Allah: Mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah ucapan-Nya dan bukanlah ciptaanNya. karena kalam (ucapan) merupakan sifat Allah dan sifat Allah bukanlah makhluk. Muslim wajib mengimani bahwa Al-Qur`an merupakan penggenapan kitab suci terdahulu.
Iman kepada para rasul Allah: Mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluknya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata. Wajib mengimani bahwa semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar dan bersumber dari Allah Ta’ala. Juga wajib mengakui setiap nabi dan rasul yang kita ketahui namanya dan yang tidak kita ketahui namanya.
Iman kepada hari akhir: Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh (di antara dunia dan akhirat) berupa fitnah kubur (nikmat kubur atau siksa kubur). Mengimani tanda-tanda hari kiamat. Mengimani hari kebangkitan di padang mahsyar hingga berakhir di Surga atau Neraka.
Iman kepada qada dan qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk:Mengimani kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Karena seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat dan sifat mereka begitupula perbuatan mereka adalah ciptaan Allah.



[1] (Dr. Muhammad Sulaiman al-Asqar. Sukses Akhirat: Panduan Amal Meraih Surga. Cet I 2004

0 komentar: